RENTAK.ID – Dr. Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana di Universitas Trisakti, menyoroti sejarah panjang RUU Perampasan Aset yang bergulir sejak 2010 dan terakhir disampaikan secara konkret pada Mei 2023.
Menurutnya, terhambatnya RUU ini di DPR menunjukkan kurangnya prioritas, meskipun regulasi ini sangat penting untuk menangani maraknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terus meningkat.
“Presiden Jokowi agar mengeluarkan Perpu terkait UU Perampasan Aset untuk menguji keberanian dan komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi,” kata Azmi, Jumat 24 Mei 2024.
Ia menegaskan bahwa keberadaan UU ini mendesak, mengingat tingginya angka korupsi yang mempengaruhi keuangan negara.
Azmi juga menekankan, bahwa perangkat hukum saat ini belum maksimal dalam mengembalikan aset hasil kejahatan. Ia mengusulkan pendekatan “in rem” (melekat pada benda) untuk perampasan aset, bukan “in personam” (melekat pada orang).
“Pendekatan ini akan mencegah tersangka atau terdakwa menyamarkan aset mereka,” tegas Azmi.
Lebih lanjut, Azmi menyarankan agar prosedur perampasan dan pengelolaan aset hasil tindak pidana dilakukan secara spesifik dan tidak konvensional. Sistem pembalikan beban pembuktian juga perlu diterapkan untuk mempermudah pengembalian aset negara.
“Korupsi dan pencucian uang yang dilakukan penyelenggara negara menjadikan negara sebagai korban, sehingga negara harus mengambil kembali aset tersebut,” ucapnya.
Implementasi UU Perampasan Aset Tindak Pidana adalah bentuk nyata penerapan prinsip “berikanlah kepada negara apa yang menjadi hak negara”, menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang tidak memberikan tempat bagi pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aset.
“UU Perampasan Aset sebagai langkah legislasi yang nyata, memperluas kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat dalam memberantas korupsi, sesuai dengan amanat Pasal 41 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,”
Azmi menutup dengan menekankan urgensi.