JAKARTA – Dalam puncak perayaan ulang tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/02/25) pagi, terjadi momen yang menarik perhatian.
Tak hanya karena kehadiran lengkap “Dinasti Jokowi”—Bapak, Anak, dan Menantu—tetapi juga karena simbolisme mendalam dalam pemberian sebilah Keris Emas dari Prabowo Subianto kepada Presiden Joko Widodo.
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen, KRMT Roy Suryo, M.Kes., menyoroti makna di balik pemberian keris tersebut.
“Keris yang diberikan Prabowo kepada Jokowi bernama ‘Kyai Garuda Yaksa,’ nama yang mirip dengan padepokannya di Hambalang,” ujarnya, Minggu (16/2/2025).
“Keris ini memiliki luk (lekukan) sebanyak 13, yang dipilih bukan tanpa alasan.”
Angka 13 kerap dianggap sial dalam banyak budaya, bahkan dalam istilah seperti “celaka tiga belas” atau “Friday the 13th.” Beberapa gedung pun menghindari lantai 13 dengan menggantinya menjadi 12A. Namun, Prabowo justru memilih angka ini.
“Apakah ini bentuk simbolis untuk membuang sial?” tanya Roy Suryo.
“Boleh saja jika ada yang menafsirkannya demikian,” lanjutnya. “Karena bagaimanapun juga, Prabowo harus menghadapi tantangan besar berupa ‘warisan’ dari pemerintahan Jokowi selama satu dekade terakhir, termasuk predikat Indonesia sebagai finalis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), sebuah sorotan internasional yang tidak bisa dianggap remeh.”
Namun, dari perspektif budaya, keris dengan luk 13 justru melambangkan kepemimpinan, kewibawaan, dan perlindungan. Dalam tradisi Jawa, keris bukan sekadar senjata, tetapi juga simbol spiritual dan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya. Nama “Garuda Yaksa” sendiri mencerminkan jiwa patriotik.
“Garuda sebagai lambang negara Indonesia, dan Yaksa yang berarti raksasa atau penjaga, melambangkan tanggung jawab besar dalam menjaga bangsa,” jelasnya.
Pemberian keris ini juga bisa diartikan sebagai simbol persatuan dan legitimasi kepemimpinan. Prabowo dan Jokowi pernah menjadi rival dalam beberapa Pilpres, tetapi sejak 2019, Prabowo bergabung di kabinet sebagai Menteri Pertahanan.
Dalam budaya Jawa, pemberian keris merupakan bentuk penghormatan yang tinggi. “Keris dianggap memiliki energi spiritual yang hanya diberikan kepada mereka yang layak menerimanya,” kata Roy Suryo. “Dalam konteks ini, Prabowo bisa saja melihat Jokowi sebagai seorang ‘guru,’ dan pemberian keris menjadi tanda penghormatan dari ‘murid’ kepada ‘guru.'”
Sejarah mencatat bahwa keris kerap memiliki kisah politik yang mendalam. Salah satu yang paling legendaris adalah Keris Empu Gandring dalam kisah Ken Arok.
Dikisahkan dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama, Ken Arok memesan keris sakti kepada Empu Gandring, tetapi sebelum selesai, ia justru membunuh sang empu dengan keris tersebut.
Dalam keadaan sekarat, Empu Gandring mengutuk bahwa keris itu akan membawa malapetaka bagi tujuh keturunan Ken Arok—dan kutukan itu pun terbukti dalam sejarah kerajaan Singasari.
Selain Keris Ken Arok, ada pula kisah Keris Pangeran Diponegoro bernama “Kyai Naga Siluman.” Keris ini memiliki nilai historis tinggi karena digunakan dalam Perang Jawa (1825-1830).
Keris tersebut sempat menjadi koleksi museum di Belanda sebelum akhirnya dikembalikan ke Indonesia pada 10 Maret 2020.
Menariknya, pengembalian keris ini dilakukan saat Jokowi berhalangan hadir, sehingga diterima oleh Anies Baswedan, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Peristiwa ini pun sempat menimbulkan spekulasi politik.
Dengan semua simbolisme yang melekat pada keris, pemberian “Kyai Garuda Yaksa” Luk-13 dari Prabowo kepada Jokowi bukan sekadar seremoni. Ada makna mendalam yang bisa diartikan secara berbeda oleh berbagai pihak. “Apakah ini bentuk penghormatan dan legitimasi kepemimpinan? Ataukah justru simbol ‘buang sial’ dari era sebelumnya?” tanya Roy Suryo.
Yang jelas, sejarah menunjukkan bahwa keris tak hanya sekadar senjata, melainkan alat politik yang sarat makna.
“Semoga sejarah kelam seperti kutukan Keris Empu Gandring tidak kembali terulang, karena ‘pembunuhan’ dalam konteks modern tidak selalu berarti fisik, tetapi juga bisa terjadi dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik,” pungkasnya. ***
Penulis : dafri jh
Editor : regardo






