Penerimaan Pajak Sektor Ekonomi Digital Indonesia Capai Rp33,56 Triliun hingga Februari 2025
- account_circle Redaksi Rentak
- calendar_month Jum, 14 Mar 2025

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan, Dwi Astuti. (dok. rentak.id)
JAKARTA – Hingga 28 Februari 2025, penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital Indonesia tercatat mencapai angka signifikan, yakni Rp33,56 triliun.
Angka tersebut berasal dari berbagai sumber, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp26,18 triliun, pajak atas transaksi kripto yang tercatat sebesar Rp1,21 triliun, pajak dari sektor fintech (P2P lending) sebesar Rp3,23 triliun, serta pajak yang dipungut atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang mencapai Rp2,94 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa penerimaan terbesar berasal dari sektor PMSE yang mencapai Rp26,18 triliun.
“Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, Rp8,44 triliun setoran tahun 2024, dan Rp830,3 miliar setoran tahun 2025,” ujarnya, Jumat, (14/3/2025).
Penerimaan dari sektor PMSE ini menunjukkan peningkatan yang stabil dari tahun ke tahun, mencerminkan pertumbuhan yang pesat dari e-commerce dan transaksi digital di Indonesia.
Selain itu, sektor kripto juga memberikan kontribusi penting dalam penerimaan pajak, dengan total mencapai Rp1,21 triliun. Penerimaan ini berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger yang tercatat sebesar Rp560,61 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi pembelian kripto yang tercatat sebesar Rp653,46 miliar.
Dwi Astuti menyatakan bahwa sektor kripto di Indonesia menunjukkan potensi besar sebagai sumber penerimaan pajak yang terus berkembang.
Sektor fintech, khususnya P2P lending, turut memberikan kontribusi yang signifikan, dengan total penerimaan pajak sebesar Rp3,23 triliun hingga Februari 2025.
Penerimaan pajak ini berasal dari beberapa jenis pajak, termasuk Pajak Penghasilan (PPh) 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Badan Usaha Tetap (BUT) yang mencapai Rp832,59 miliar, serta Pajak Penghasilan (PPh) 26 atas bunga pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp720,74 miliar.
Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan atas setoran masa tercatat sebesar Rp1,68 triliun.
Penerimaan dari sektor pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) juga memberikan kontribusi yang signifikan, mencapai Rp2,94 triliun hingga Februari 2025.
Penerimaan pajak SIPP ini terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp199,96 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tercatat sebesar Rp2,74 triliun. Dwi Astuti menambahkan, “Pajak SIPP ini menunjukkan betapa pentingnya sektor digital dalam mendukung transparansi dan efisiensi pengadaan barang dan jasa pemerintah.”
Sebagai langkah lanjut, pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada Februari 2025, sepuluh Wajib Pajak PMSE dalam negeri telah dihapus dan digabungkan ke NPWP Pusat Badan, termasuk perusahaan besar seperti PT. Jingdong Indonesia Pertama, PT. Shopee International Indonesia, PT. Ecart Webportal Indonesia, dan PT. Tokopedia. Langkah ini diambil untuk mempermudah pemungutan pajak dan meningkatkan efisiensi administrasi pajak di sektor ekonomi digital.
Dalam upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi pelaku usaha, baik konvensional maupun digital, pemerintah terus memperluas cakupan pemungutan pajak dengan fokus pada sektor usaha digital lainnya.
Dwi Astuti mengungkapkan, “Pemerintah akan terus menggali potensi penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital lainnya, seperti pajak atas transaksi kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa.” Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa sektor digital juga berkontribusi secara adil dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Dengan kebijakan yang terus diperbaharui dan potensi yang masih terus digali, sektor ekonomi digital diharapkan dapat semakin memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia. ***
- Penulis: Redaksi Rentak