P2G: Perubahan SPMB 2025 Dinilai Tak Efektif, Hanya Ganti Istilah Tanpa Solusi Pemerataan Pendidikan

- Penulis

Sabtu, 1 Februari 2025 - 18:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sekolah dengan murid bermain di depan kelas (ilus. ai)

Sekolah dengan murid bermain di depan kelas (ilus. ai)

JAKARTA – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai bahwa perubahan sistem Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan utama terkait akses dan pemerataan kualitas pendidikan.

Meski ada perbaikan, kebijakan ini justru lebih terkesan sebagai pergantian istilah semata.

Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, mengatakan,   sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sebelumnya memang menghadapi masalah klasik yang berulang selama delapan tahun terakhir.

Penghapusan sistem zonasi atau perubahan jalur masuk tanpa solusi menyeluruh justru berpotensi menimbulkan dampak negatif.

“Menghapus total sistem zonasi atau mengubah skema penerimaan siswa tanpa solusi yang matang justru bisa melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Ini juga bisa menimbulkan konflik horizontal di masyarakat karena pemerintah belum memiliki mekanisme penerimaan siswa baru yang efektif di sekolah negeri,” kata Satriwan, Sabtu (1/2/2025).

P2G Apresiasi Penambahan Kuota Jalur Afirmasi

Meskipun mengkritik beberapa aspek dari sistem SPMB, P2G mengapresiasi langkah Kemdikdasmen yang tetap mempertahankan sistem zonasi—meskipun berganti nama menjadi Jalur Domisili—serta menambah kuota untuk Jalur Afirmasi.

“Kami menghargai keputusan pemerintah yang tetap mempertahankan jalur domisili dan menambah kuota afirmasi menjadi 20 persen di SMP dan 30 persen di SMA. Ini membuka peluang lebih luas bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk bersekolah di sekolah negeri,” ujar Satriwan.

Namun, P2G menyoroti bahwa perubahan ini belum menyentuh akar masalah utama, yaitu ketidakmerataan jumlah dan kualitas sekolah di berbagai daerah.

Jalur Prestasi Bertambah, Berpotensi Timbulkan Ketimpangan Baru

Salah satu hal yang menjadi perhatian P2G adalah peningkatan kuota Jalur Prestasi dalam sistem SPMB. Jika sebelumnya jalur ini hanya digunakan untuk mengisi sisa kuota setelah jalur lainnya terpenuhi, kini porsinya meningkat menjadi 30 persen di SMA dan 25 persen di SMP.

Baca Juga :  Mendikdasmen Abdul Mu’ti Pastikan Pembelajaran AI dan Coding Tidak Dimulai dari Kelas 1 SD

Satriwan menilai kebijakan ini dapat menciptakan ketimpangan baru dalam dunia pendidikan.

“Kami khawatir sekolah-sekolah akan lebih memprioritaskan siswa dari Jalur Prestasi, sementara mereka yang berasal dari jalur domisili dan afirmasi malah tersisihkan. Akibatnya, konsep sekolah negeri sebagai tempat pendidikan yang inklusif bisa terganggu,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa penambahan Jalur Prestasi berisiko menghidupkan kembali stigma “Sekolah Favorit” dan “Sekolah Unggulan,” yang justru menciptakan kesenjangan dalam pelayanan pendidikan.

Tiga Masalah Utama SPMB Menurut P2G

P2G mencatat tiga masalah utama yang belum terselesaikan dalam sistem SPMB ini:

1. Ketimpangan Jumlah dan Kualitas Sekolah

Banyak daerah yang memiliki jumlah sekolah negeri terbatas dan tidak mampu menampung siswa baru, seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Sebaliknya, di beberapa daerah seperti Solo, Sragen, dan Gunung Kidul, sekolah justru kekurangan murid.

2. Solusi yang Masih Parsial dan Tidak Melibatkan Lintas Kementerian

Persoalan sistem penerimaan siswa baru seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemdikdasmen, tetapi juga kementerian lain seperti Kemen PUPR, Kemenhub, dan Kemenag.

Keterlibatan lintas kementerian dibutuhkan untuk menambah infrastruktur sekolah, meningkatkan akses transportasi, serta mengintegrasikan sekolah swasta dan madrasah dalam sistem PPDB/SPMB.

3. Praktik Kecurangan dan Pelanggaran Hukum dalam SPMB

Masalah pungutan liar, jual beli kursi, manipulasi data kependudukan, serta intervensi dari pihak-pihak tertentu masih sering terjadi.

P2G mendesak agar penegak hukum, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dilibatkan dalam pengawasan proses SPMB untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

“Sejak 2017, praktik kecurangan dalam PPDB sudah terjadi berulang kali. Namun, hingga kini belum ada tindakan hukum tegas terhadap pelaku, baik dari pihak sekolah, pejabat daerah, maupun orang tua siswa,” ujar Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.

Baca Juga :  Dosen Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya Mengukir Prestasi Keilmuan Global dari Jakarta hingga Kancah Dunia

Permendikdasmen Harus Tegas dalam Larangan Pungli dan Jual Beli Kursi

P2G juga mengkritik draf Permendikdasmen tentang SPMB yang tidak secara eksplisit mencantumkan larangan penambahan ruang kelas dan rombongan belajar selama proses penerimaan siswa berlangsung.

“Dalam aturan sebelumnya, larangan ini jelas tertulis, tetapi di draf terbaru justru dihilangkan. Ini berpotensi membuka celah bagi praktik pungli dan jual beli kursi oleh oknum tertentu,” jelas Iman.

Kasus-kasus seperti ini, menurut data Ombudsman RI, pernah terjadi di berbagai daerah, seperti Medan, Batam, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Makassar, dan Banten.

P2G Minta Pemerintah Menanggung Biaya Sekolah Swasta bagi Siswa yang Tak Tertampung di Negeri

P2G menyambut baik rencana pemerintah untuk melibatkan sekolah swasta dalam sistem SPMB. Namun, mereka menegaskan bahwa pemerintah harus menjamin pembiayaan penuh bagi siswa yang terpaksa masuk sekolah swasta karena tidak tertampung di sekolah negeri.

“Kami mengusulkan agar dalam Permendikdasmen SPMB, pemerintah daerah diwajibkan menanggung sepenuhnya biaya pendidikan bagi siswa yang diterima di sekolah swasta akibat terbatasnya daya tampung sekolah negeri,” tegas Iman.

Jika aturan ini tidak jelas, siswa dari keluarga kurang mampu akan kesulitan karena harus menanggung biaya sekolah swasta yang lebih mahal.

“Jangan sampai anak-anak mengalami diskriminasi berlapis: tidak bisa masuk sekolah negeri karena kuota terbatas, lalu harus membayar mahal untuk sekolah swasta. Ini jelas bertentangan dengan amanat konstitusi yang menjamin hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan,” pungkasnya.

P2G berharap pemerintah lebih serius dalam menangani permasalahan pendidikan ini dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam penyusunan aturan SPMB.

 

Penulis : lazir

Editor : regardo

Berita Terkait

Wamendiktisaintek Stella Christie Tinjau Lokasi SMA Unggul Garuda di Bangka Belitung untuk Perkuat Pendidikan dan Pengembangan SDM
Gus Hilman: Anggaran Kemendikdasmen Dipangkas Rp8 Triliun, Tunjangan Guru Harus Tetap Aman!
Dari Sampah Plastik ke Ecobrick: Kisah Inspiratif SMA Negeri 7 Banjarmasin dalam Mengatasi Masalah Lingkungan
Konbes NU 2025 Soroti Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Pemerintah Siapkan Grand Strategy Nasional untuk Atasi Masalah
Kemendikdasmen Terapkan Ijazah Elektronik, Sekolah Akreditasi Bisa Cetak Mandiri tahun 2025
Finalisasi PDSS 2025: Rekor Baru! 908 Ribu Siswa Siap SNBP, Panitia Beri Kesempatan Tambahan
Perpustakaan Nasional RI: Ikon Literasi Menjulang di Langit Jakarta
Sinkronkan Elipski dengan Perpustakaan Islam Digital, Kemenag Perkuat Digitalisasi dengan Akses 3.488 Kitab Secara Daring

Berita Terkait

Senin, 10 Februari 2025 - 09:34 WIB

Wamendiktisaintek Stella Christie Tinjau Lokasi SMA Unggul Garuda di Bangka Belitung untuk Perkuat Pendidikan dan Pengembangan SDM

Senin, 10 Februari 2025 - 08:07 WIB

Gus Hilman: Anggaran Kemendikdasmen Dipangkas Rp8 Triliun, Tunjangan Guru Harus Tetap Aman!

Minggu, 9 Februari 2025 - 17:15 WIB

Dari Sampah Plastik ke Ecobrick: Kisah Inspiratif SMA Negeri 7 Banjarmasin dalam Mengatasi Masalah Lingkungan

Minggu, 9 Februari 2025 - 11:08 WIB

Konbes NU 2025 Soroti Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Pemerintah Siapkan Grand Strategy Nasional untuk Atasi Masalah

Sabtu, 8 Februari 2025 - 06:33 WIB

Kemendikdasmen Terapkan Ijazah Elektronik, Sekolah Akreditasi Bisa Cetak Mandiri tahun 2025

Berita Terbaru