Birds of A Feather Flock Together
- account_circle Redaksi Rentak
- calendar_month Sab, 9 Des 2023

Capres dan pasangannya akan bertarung pada pilpres 2024
Penulis: IzHarry Agusjaya Moenzir – Wartawan Senior
INI mungkin sebuah kebetulan. Tetapi mungkin pula bukan kebetulan. Ungkapan yang bermakna “makhluk-makhluk yang sejenis hakikatnya berkumpul bersama” ini sudah dikenal sejak abad ke-16 Bahkan penyair William Turner pada tahun 1545 mencantumkan kalimat itu pada puisinya.
“Byrdes of on kynde and color flok and flye allwayes together,” begitu dia menulis. Di dalam bahasa Inggris, terjemahannya “that beings (typically humans) of similar type, interest, personality, character, or other distinctive attribute tend to mutually associate.”
Hari-hari ini, di Republik ini, hal itu secara nyata terbukti lagi. Lihat sajalah ketiga capres dan cawapres yang muncul sekarang. Anies dan Imin misalnya. Kedua sosok ini merupakan orang-orang yang pandai bersilat lidah. Pintar bicara, pintar berkilah. Banyak bicara (talkative). Suka bicara (conversational), ringan lidah dan rapuh mulut, serta leceh (glutinous, sticky). Juga bacar (garrulous) dan celopar (finicky, fussy). Sengaja atau tidak sengaja, mereka terpasang dalam satu ikatan.

IzHarry Agusjaya Moenzir
Begitu juga pasangan Ganjar dan Mahfud. Kedua sosok ini merupakan orang-orang yang pintar dalam pemikiran. Manusia pandai yang taat asas. Anak sekolahan yang berpendidikan. Jenis manusia yang banyak membaca dan selalu belajar. Mereka punya nur (aura) yang tulus. Sekaligus tegas. Berani mengambil risiko dan selalu yakin dalam melangkah. Pekerja keras yang konsekuen, idealis, dan bertanggungjawab. Sengaja atau tidak sengaja, mereka terpasang dalam satu ikatan.
Sementara pasangan Prabowo dan Gibran juga demikian. Kedua sosok ini merupakan orang-orang yang tak pandai bicara. Ilmunya cetek, dangkal dan tidak dalam.
Di Pemilu lalu, Bowo bahkan tidak mengerti apa itu ‘stunting’. Di Pemilu sekarang, dia mengaku tidak banyak tahu tentang dunia digital. “Nanti akan saya pelajari lebih dalam,” katanya.
Dia sudah berhenti membaca, tidak lagi meng-update ilmu. Dia tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Dia sudah mulai nyanyok, pikun dan tidak memahami teori komunikasi yang ditulis oleh para pakar komunikasi. Jika mentok dan salah tingkah, dia alihkan dengan menarikan gerakan jelek tanpa keluwesan.
Begitu juga Gibran. Jika Bowo sudah tak lagi membaca, maka Gibran malah tak pernah membaca. Usianya masih sedikit, ruang pikirannya masih sempit. Pengalamannya nyaris tak ada, dan pola pikirnya jauh berada di bawah garis sederhana. Dia bagai anak mami yang baru lepas netek. Gagap, gugup, dan gopoh. Memandang mata kawan bicara pun tak berani, apalagi jika melawan orang dalam perdebatan.
Yang jelas, sengaja atau tidak sengaja, para pasangan capres-cawapres ini terpasang dalam satu ikatan. Alam sudah bicara, mengatur komposisi sesuai human nature. Ini bukan tindakan kesengajaan anak manusia, tetapi suratan alam.
Memang begitulah birds of a feather flock together. Orang pintar menyatu dengan orang pintar, orang yang suka bersilat lidah berduet dengan orang yang besar cakap, dan orang dimentia berpasangan dengan orang yang tak ngerti apa-apa.
Alam sudah menentukan posisi mereka masing-masing. Kita mau bilang apa lagi!? ***
- Penulis: Redaksi Rentak