Teologi Al Maun vs. Marxisme: Islam, dan Pemberdayaan, Ajarkan Welas Asih, Bukan Perang Kelas
- account_circle Rahmat Kurnia Lubis
- calendar_month Sel, 11 Mar 2025

Pengajian Ramadan 1446 H yang digelar oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY pada Ahad (09/03) di Amphitarium Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa teologi Al Maun berpihak kepada kaum mustad’afin tanpa harus menentang orang kaya, berbeda dengan teori Marxisme yang cenderung konfrontatif.
“Al Maun itu pro mustad’afin sekaligus pro orang kaya. Kenapa? Karena kita bisa memberdayakan orang miskin dengan bantuan orang kaya. Dhamir dalam surat ini justru ditujukan kepada mereka yang berpunya, bukan orang miskin atau dhuafa,” jelas Haedar dalam Pengajian Ramadhan 1446 H yang digelar oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY di Amphitarium Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Minggu (9/3).
Menurutnya, Islam menegaskan bahwa orang kaya yang beragama, tetapi enggan menyantuni fakir miskin dan yatim piatu, dianggap sebagai pendusta agama.
“Ini pesan kuat dari Surat Al Maun. Orang yang berpunya memiliki tanggung jawab sosial terhadap mereka yang membutuhkan,” ujarnya.
Haedar juga menyoroti perbedaan fundamental antara konsep Al Maun dengan Marxisme dan Neo-Marxisme.
“Dalam Marxisme, keberpihakan terhadap mustad’afin bertujuan melawan orang kaya dan kaum borju. Ini perbedaan mendasar yang harus dipahami dengan cermat,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa Islam tidak menempatkan orang miskin dan kaya dalam posisi yang saling bertentangan. Sebagai contoh, Dr. Soetomo pada tahun 1924, ketika mendirikan PKU Muhammadiyah Surabaya, menafsirkan Al Maun sebagai teologi kasih sayang dari orang kaya kepada orang miskin.
“Ini berbeda dengan konsep struggle for life dalam teori Darwin yang menekankan bahwa hanya yang kuat yang bertahan,” imbuhnya.
Haedar menekankan bahwa dakwah Islam harus berorientasi pada pemberdayaan, bukan konfrontasi.
“Para mubaligh harus memahami bahwa membela kaum dhuafa dan mustad’afin berarti semangat memberdayakan, membebaskan, dan menyantuni—bukan malah menyerang orang kaya,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa semangat mendirikan lembaga tahfidz harus tetap selaras dengan sistem pemikiran Muhammadiyah yang menekankan pemahaman Al-Qur’an secara komprehensif melalui ilmu tafsir dan ulumul quran.
“Ini patut diapresiasi, tetapi jangan hanya berhenti di hafalan,” pungkasnya.
- Penulis: Rahmat Kurnia Lubis