MALAM itu, Dimas memacu mobilnya melewati Alas Roban. Ia baru pulang dari Semarang menuju Jakarta, memilih jalan itu karena lebih cepat. Hutan jati di kiri-kanan jalan menjulang gelap, seolah menelan cahaya lampu mobilnya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kabut tebal turun. Suasana berubah mencekam. Dimas melirik spion—matanya menangkap sosok perempuan berambut panjang duduk di kursi belakang.
Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke belakang, tapi kursi kosong. Napasnya memburu, tangannya menggenggam erat kemudi. Namun, ketika ia kembali melihat spion, sosok itu masih ada—dan kini menatapnya dengan mata kosong.
Dimas menginjak gas, berharap bisa segera keluar dari hutan. Tapi jalanan terasa semakin panjang, seolah tidak berujung. Dalam kepanikannya, suara lirih terdengar dari kursi belakang:
“Mas… antar aku pulang…”
Suara itu menggema di telinganya, dingin dan mendesak. Dimas hampir kehilangan kendali. Ia berusaha membaca doa, tapi lidahnya kelu.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Dimas menginjak rem sekuat tenaga—mobilnya berputar, hampir terguling ke jurang.
Saat kesadarannya mulai kabur, ia melihat sosok perempuan itu tersenyum. Perlahan, wajahnya berubah mengerikan—matanya hitam pekat, mulutnya menyeringai lebar dengan gigi tajam.
Lalu semuanya gelap.
Keesokan harinya, warga menemukan mobil Dimas ringsek di tepi jurang. Tak ada tanda-tanda keberadaannya. Hanya ada bekas jejak kaki basah menuju hutan.
Dan di kaca mobilnya, tergores sebuah tulisan:
“Aku sudah pulang.”
Penulis : regardo
Editor : regardo