JAKARTA – Dalam pernyataan yang menggugah perhatian global, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menegaskan bahwa dunia tidak boleh membiarkan Lebanon mengalami nasib yang sama seperti Gaza. Hal ini muncul di tengah kekhawatiran bahwa beberapa pemimpin Israel tampaknya ingin mengaitkan ancaman dari Hizbullah di Lebanon dengan situasi di Gaza. Mereka menggunakan narasi ini untuk membenarkan serangan yang lebih luas, baik ke Gaza maupun Lebanon.
Empat Fakta Kunci mengenai Potensi Konflik
Hizbullah dan Struktur Kehidupan di Lebanon Hizbullah bukan sekadar kelompok militan; ia merupakan bagian integral dari jalinan politik dan militer yang kompleks di Lebanon. Meskipun memiliki pengaruh yang signifikan, Hizbullah tidak memegang kendali penuh atas lembaga pemerintahan, berbeda dengan Hamas yang secara efektif menguasai Gaza.
Di Lebanon, terdapat struktur pemerintahan dan keuangan internasional yang lebih jelas, membuat situasinya berbeda secara fundamental. Hal ini menambah lapisan kompleksitas ketika berbicara tentang konflik bersenjata di kawasan tersebut, di mana peran internasional, termasuk dukungan dari PBB, menjadi sangat vital.
Aliansi Strategis dengan Iran Dalam pidatonya di Kongres Amerika Serikat, Netanyahu menegaskan bahwa Iran adalah aktor kunci yang mendukung kelompok-kelompok seperti Hizbullah dan Hamas. Ia menggambarkan mereka sebagai “proksi” yang berpotensi mengancam keamanan Israel dan, lebih luas lagi, Barat. Meskipun kedua kelompok bersekutu dengan Iran, hubungan mereka bersifat berbeda.
Hizbullah secara lebih langsung sejalan dengan agenda regional Iran, sedangkan Hamas lebih bersikap independen. Contohnya, Hamas sempat memutuskan hubungan dengan Iran pada tahun 2011 sebagai protes terhadap dukungannya terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah. Ketegangan ini menunjukkan bagaimana dinamika aliansi dapat berubah seiring waktu.
Strategi Militer dan Penggunaan Fasilitas Sipil Israel telah mengklaim bahwa Hizbullah dan Hamas menyembunyikan peralatan militer di lokasi-lokasi sipil, termasuk rumah, sekolah, dan rumah sakit. Tuduhan ini digunakan untuk membenarkan serangan-serangan yang mengarah ke penghancuran infrastruktur sipil. Dalam upayanya untuk mengalihkan perhatian dari dampak serangan, Israel bahkan menargetkan fasilitas PBB, termasuk Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA).
Baru-baru ini, militer Israel merilis gambar yang menunjukkan rudal Hizbullah yang diduga disembunyikan di rumah warga di Lebanon selatan. Juru bicara militer Israel menjelaskan bahwa rudal tersebut terletak di atas rumah di mana sebuah keluarga tinggal, mengklaim bahwa Hizbullah menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia.
Dampak Kemanusiaan yang Mengkhawatirkan Sejak dimulainya serangan Israel, lebih dari 600 orang di Lebanon telah tewas, dan ribuan lainnya terluka. Serangan ini tidak hanya mengincar target militer tetapi juga mengakibatkan kerusakan luas pada infrastruktur sipil. Netanyahu berulang kali menyatakan bahwa perang yang dilakukan bukanlah terhadap rakyat Lebanon, melainkan terhadap Hizbullah.
Namun, strategi militer Israel yang berfokus pada penghancuran infrastruktur dan penargetan area padat penduduk memicu kekhawatiran mendalam tentang korban sipil. Pemberitahuan evakuasi yang dikeluarkan Israel sebelum serangan seringkali dianggap tidak efektif dan lebih bersifat simbolis daripada menyelamatkan nyawa.
Ketegangan yang berkembang di Lebanon menunjukkan potensi untuk menciptakan krisis kemanusiaan yang lebih besar, dengan implikasi yang dapat meluas ke seluruh kawasan. Guterres memperingatkan akan pentingnya pendekatan yang lebih hati-hati dan diplomatis untuk mencegah situasi ini menjadi lebih buruk. Dengan berbagai faktor yang saling berinteraksi, dunia kini lebih dari sebelumnya harus memperhatikan dinamika yang ada, untuk memastikan bahwa nasib Lebanon tidak berujung seperti Gaza. (***)






