RENTAK.ID – Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Brawijaya pada hari Sabtu 12 Agustus 2023 menggelar diskusi tentang peranan diplomat dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia. Diskusi menghadirkan Bagas Hapsoro, mantan Dubes RI untuk Swedia merangkap Latvia (2016-2020) selaku nara sumber. Disamping itu pada acara intimate session dilakukan diskusi one-on-one antara 3 diplomat Indonesia dengan para mahasiswa Unibraw.
Ketiga diplomat tersebut adalah Adib Zaidani, Counsellor dari PTRI New York, Andrea A. Stefanus, Sekretaris Pertama dari KBRI Den Haag, dan Citra Yudha Nur Fatihah, Konsul Muda dari KJRI di Chicago.
Pembina FPCI, Primadiana Yunita, S.IP dalam pidato sambutannya menyatakan bahwa Kemlu merupakan instansi yang selalu tanggap terhadap gejolak internasional. “Tidak hanya masalah antar negara, problem yang dihadapi tenaga kerja Indonesia di luar negeripun selalu direspon dengan baik”, imbuh Primadiana Yunita.
Harapannya acara ini bisa membuka wawasan dan membuka pengetahuan mengenai dunia diplomat. Riset membuktikan bahwa pekerjaan sebagai diplomat masih menjadi profesi yang populer di survey yang diadakan FPCI kurang lebih 2 tahun belakangan ini.
Selanjutnya Maria Marselina Marsinondang, Project Leader Diplomatic Dialogue 2023 berpesan kepada para mahasiswa agar dapat menggali informasi sebanyak mungkin terkait diplomasi. Dijelaskan pula kepada para diplomat bahwa mahasiswa yang hadir tidak saja dari jurusan hubungan internasional namun juga ilmu budaya.
Mengawali presentasinya Bagas Hapsoro menyatakan bahwa ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh seorang mahasiswa. Pertama adalah modal bahasa yang harus dimiliki, baik bahasa Inggris maupun bahasa lainnya, khususnya bahasa-bahasa yang digunakan di PBB. Selanjutnya, disampaikan mantan dubes di Swedia ini bahwa para mahasiswa harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. ”Komunikasi merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh seorang diplomat”, ujar Bagas.
Poin ketiga, lanjut Bagas Hapsoro yang harus dimiliki oleh seorang diplomat adalah kemampuan untuk beradaptasi dan belajar segala hal yang akan menjadi tugasnya nanti. Ia mencontohkan bagaimana diplomat harus menguasai isu perdamaian dan keamanan dan memahami hukum internasional ketika membahas tentang batas antar negara.
Hal terakhir yang harus menjadi perhatian menurut Bagas Hapsoro adalah seorang diplomat tidak lagi mewakili golongan, suku dan dirinya prbadi, namun membela Indonesia di fora internasional. Kondisi ini menuntut sang diplomat untuk meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bangsa. “Kepentingan nasional merupakan sebuah harga mati yang harus dibela oleh seorang diplomat,” tandasnya.
Diskusi hangat tentang peran diplomat.
Dalam diskusi yang dipandu Bella Devina Sihombing, pertanyaan beragam diajukan kepada Bagas Hapsoro yaitu pandangannya terhadap pembentukan BRICS dan bagaimana perasaannya menghadapi todongan senjata ketika mobilnya dihentikan oleh sekelompok milisi bersenjata di perbatasan Suriah-Lebanon.
Bagas merespon bahwa BRICS merupakan kelompok negara yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan yang juga merupakan 5 negara emerging countries terdepan di dunia. Meskipun Indonesia belum menjadi anggota BRICS, namun Indonesia telah menyerukan kepada kelompok BRICS ini untuk terus memperjuangkan prinsip multilateralisme dan hak pembangunan setiap negara. Salah satu cara yang dilakukan Indonesia adalah dengan membangun kerjasama yang lebih erat dan inklusif di antara anggota BRICS, serta meningkatkan koordinasi dengan negara-negara emerging market lainnya, seperti yang ada dalam kelompok MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia).
Menyangkut peristiwa pencegatan rombongan tahun 2008, dubes menjelaskan bahwa ketika itu dalam perjalanan kembali dari Damaskus ke Beirut. Adapun misi ke Suriah adalah untuk mengantar rombongan resmi tamu Indonesia yang akan kembali ke Indonesia. Yang menjadi masalah adalah ketika mobil dubes RI disangka kendaraan salah satu negara Barat. Kebetulan memang mirip dengan mobil dubes negara Barat. Sebagaimana diketahui negara Barat tersebut sering mengecam dan memberikan komentar pedas terhadap milisi tersebut. Ketika Dubes menyapa mereka dengan ramah dan memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia, pimpinan milisi menyambut baik dan meminta maaf atas pencegatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa rakyat Indonesia adalah saudara bagi mereka. Setelah itu rombongan kedubes RI kembali ke Beirut dengan aman.
Dalam diskusi intimate session, pertanyaan mahasiswa ditujukan kepada Adib Zaidani, Counsellor, PTRI New York yaitu tentang langkah-langkah yang perlu diambil ketika menghadapi konflik kepentingan dengan negara lain. Pertanyaan berikutnya mengenai apa yang harus dilakukan seorang diplomat menghadapi cultural barrier.
Pertanyaan senada juga ditujukan kepada Andrea Stefanus, Sekretaris Pertama KBRI Den Haag. Yaitu apakah masih terdapat xenophobia terhadap Indonesia di Belanda, kemudian apa yang harus dilakukan diplomat RI ketika menghadapi permasalahan dalam negosiasi perjanjian internasional.
Sementara itu Fitria Yuda Nur Fatihah, Konsul Muda dari KJRI Chicago memberikan penjelasan tentang prioritas politik luar negeri saat ini. Diuraikan pula tentang bentuk-bentuk perjuangan diplomasi Indonesia sejak diplomasi kedaulatan, deklarasi Djuanda sampai saat ini yaitu diplomasi perlindungan dan diplomasi ekonomi. Diskusi menarik lainnya adalah apakah terdapat suatu jaminan dari pemerintah RI terhadap diplomat Indonesia yang menempati pos rawan dan berbahaya.
Di akhir diskusi Pandu Satya Rizal, Presiden FPCI menyatakan kegembiraannya melihat animo mahasiswa yang begitu antusias mengikuti diskusi dengan para diplomat. Sejak tahun 2021 FPCI meluncurkan diskusi tentang “the Role of Youth in Diplomacy”. Tahun 2022 tentang “Redefine of diplomacy in world conflicts”. Tahun ini tentang “Diplomat’s role in today’s lives”. Dengan berjalannya waktu, ternyata banyak pihak yang menyambut baik diskusi ini. Tidak saja kalangan mahasiswa namun juga para pemerhati hubungan internasional dan pelaku bisnis. ***