RENTAK.ID, JAKARTA – Terjadi lagi untuk keseian kalinya, seorang siswi kelas 12 IPA di SMAN 9 Kota Bengkulu mengalami perundungan yang diduga dilakukan oleh oknum pengajar dan sejumlah teman sekelas korban.
Kejadian perundungan ini diterima oleh anak korban berinisial K sejak duduk di kelas 10. Orangtua anak korban, mengungkapkan bahwa anaknya kembali harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit karena penyakit auto imun yang kerap kambuh saat anak korban mengalami pembullyan.
Ketua Dewan Paka Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan, perundungan atau bullying yang diterima anak korban berupa kekerasan verbal, sehingga mengakibatkan anak korban takut saat akan ke sekolah, selain itu membuat drop kesehatan anak dan kerap kambuh penyakit autoimun yang diderita korban sejak 2017.
“Perundungan diduga kuat dilakukan oleh oknum guru serta rekan rekan sekelas korban. Orangtua korban mengadu ke sekolah karena khwatir dengan kondisi kesehatan psikologis yang berdampak pada penyakit autimun anak korban, apalagi korban sudah kelas 12 yang sebentar lagi akan ujian kelulusan,” kata Retno, Sabtu (5/8/2021).
Kepala Sekolah SMAN 9 Kota Bengkulu mengakui, adanya perundungan atau bullying yang dilakukan oleh oknum pengajar maupun tenaga didik serta siswa-siswi terhadap anak korban K.
“Sehingga pihak sekolah melakukan mediasi dengan orang tua korban maupun dengan oknum yang diduga melakukan perundungan tersebut. Orangtua korban memiliki bukti bukti berupa audio atas ucapan-ucapan para pelaku bully,” katanya.
Menurut informasi yang diperoleh FSGI, para guru terduga pelaku menuduh anak korban telah melakukan suap ke mata pelajaran lain sehingga nilainya tinggi-tinggi dan masuk dalam 10 besar di sekolah. Keempat guru meragukan pencapaian nilai anak korban, karena anak korban jarang masuk sekolah lantaran ijin berobat ke rumah sakit karena didiagnosa sakit Autoimun.
“Padahal si anak korban memang pintar dan rajin, ditambah ikut Bimbel untuk mengejar ketertinggalan materi sekolahnya. Jika ada tugas atau ulangan saat anak korban tidak masuk sekolah karena berobat, dia selalu mengerjakan dengan cara susulan,” katanya.
FSGI juga mendapatkan informasi terkait proses mediasi yang dilakukan disekolah, para guru dan sejumlah teman sekelas korban hanya diminta untuk menyampaikan permintaan maaf kepada anak korban, namun tidak mendapatkan sanksi apapun, walaupun bukti-bukti audio dimiliki keluarga korban.
“Kepala sekolah hanya berjanji akan melakukan pembinaan, begitupun Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu hanya memanggil dan memberikan pembinaan,” ujar Retno.
Tidak adanya sanksi yang dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku, baik guru maupun siswa dapat berpotensi pembullyan akan kembali terjadi dan korban tidak mendapatkan perlindungan, apalagi pelakunya adalah para guru yang mengajar anak korban.
FSGI menduga penanganan seperti itu akan berpotensi membuat anak korban tetap merasa tidak aman karena para guru tersebut merupakan pengajar di kelasnya, sehingga rasa khawatir dan ketakutan tentu masih ada di pihak anak korban.
“Penanganan yang seperti itu tidak sesuai dengan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 dan belum menyelesaikan masalah. Korban juga belum mendapatkan keadilan. Hal ini kemungkinan besar tidak akan menimbulkan efek jera pada para pelaku,” kata Retno. (ameri)