JAKARTA – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pembelajaran terkait Artificial Intelligence (AI) dan coding tidak akan dimulai sejak kelas 1 Sekolah Dasar (SD).
Penegasan ini ia sampaikan dalam acara pembukaan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) Delapan Kajian Kebijakan Pendidikan di Jakarta, Selasa (19/11/2024), merespons spekulasi publik tentang penerapan kurikulum berbasis teknologi di tingkat dasar.
“AI dan coding memang akan menjadi bagian dari kurikulum atau mata pelajaran pilihan di sekolah dasar. Namun, tidak harus dimulai sejak kelas 1,” ujar Abdul Mu’ti.
Kesiapan Jadi Kunci Utama
Abdul Mu’ti menilai pengenalan AI dan coding memerlukan kesiapan dari berbagai aspek, termasuk siswa, guru, dan infrastruktur pendukung. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak boleh membebani siswa yang masih dalam tahap awal pembelajaran.
“Kita perlu memahami bahwa materi seperti ini cocok untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Fokus utama di tingkat dasar seharusnya adalah penguatan literasi dan numerasi,” jelasnya.
Fokus pada Literasi dan Numerasi
Menurut Abdul Mu’ti, literasi dan numerasi adalah fondasi utama yang harus dikuasai siswa sebelum dikenalkan dengan teknologi seperti AI dan coding. Ia meminta pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memperkuat kedua kemampuan tersebut terlebih dahulu.
“Langkah pertama yang perlu kita ambil adalah memastikan kemampuan literasi dan numerasi anak-anak kita sudah kuat. Barulah setelah itu kita dapat memperkenalkan keterampilan teknologi,” tambahnya.
Abdul Mu’ti juga membantah kesalahpahaman sejumlah pihak yang mengira AI dan coding akan diterapkan sejak kelas 1 SD. “Ada pihak yang salah paham. AI dan coding ini tidak untuk kelas 1 SD. Hal ini perlu kita luruskan,” tegasnya.
Belajar dari Praktik Global
Dalam paparannya, Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa negara-negara lain yang telah menerapkan pembelajaran AI dan coding di pendidikan dasar melakukannya secara bertahap.
“Di Singapura, pembelajaran ini dimulai dari kelas 4 SD. Sementara di India, baru diajarkan di kelas 6. Begitu pula di negara-negara seperti Cina, Jepang, dan kawasan Skandinavia. Semua dilakukan sesuai tingkat perkembangan siswa,” jelasnya.
Menyesuaikan dengan Konteks Indonesia
Ia menekankan bahwa Indonesia tidak bisa hanya meniru negara lain tanpa mempertimbangkan konteks lokal, seperti kesiapan kurikulum, kompetensi guru, dan akses teknologi yang belum merata.
“Pendidikan kita memiliki tantangan unik, termasuk disparitas kualitas pendidikan di berbagai daerah. Oleh karena itu, kebijakan ini harus direncanakan dengan matang,” katanya.
Mengintegrasikan Teknologi Secara Bijak
Abdul Mu’ti berharap kebijakan pendidikan berbasis teknologi seperti AI dan coding dapat menjadi alat untuk mendukung pengembangan siswa. Ia menegaskan bahwa tujuan utama adalah menciptakan generasi yang mampu bersaing di era digital dengan dasar pendidikan yang kuat.
“Kebijakan ini tidak boleh sekadar menjadi tren. Pendidikan yang kita rancang harus mampu menyiapkan generasi mendatang agar berdaya saing global tanpa melupakan fondasi utama pendidikan,” pungkasnya.