RENTAK.ID – Undang-undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, atau yang dikenal sebagai UU Desa, telah menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Beberapa perubahan signifikan telah dilakukan dalam UU tersebut, salah satunya adalah perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Namun, banyak ahli menilai bahwa perubahan ini dihasilkan dari tekanan politik tanpa dasar teknokratis yang jelas.
Menanggapi hal ini, peneliti kebijakan publik IDP-LP, Riko Noviantoro, menyatakan bahwa UU Desa ini penuh dengan kontroversi dan tekanan politik.
“Pasal 39 ayat 1 UU Desa yang mengatur perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi delapan tahun sebenarnya tidak didasarkan pada studi teknokratis yang melegitimasi tuntutan masa jabatan yang lebih lama,” kata Riko, Rabu (8/5/2024).
Riko menekankan, bahwa pasal ini justru menjadi celah dan rawan korupsi dana desa yang semakin pelik. Banyak kepala desa di masa lalu yang terjerat kasus korupsi.
Kendati demikian, UU itu sudah sah, maka berbagai pihak harus aktif melalukan pengawasan dan mencegah berbagai penyimpangan.
Pemangkasan masa jabatan maksimal Kepala Desa dari 18 tahun menjadi 16 tahun menjabat juga menjadi salah satu perubahan dalam UU Desa terbaru.
Meskipun kepala desa hanya dapat menjabat untuk dua periode, banyak pihak mempertanyakan apakah ini masih terlalu lama dan menimbulkan risiko korupsi yang lebih besar.
Pada akhirnya, ketidakpuasan atas UU Desa terbaru menuntut adanya evaluasi dan kajian teknokratis yang lebih mendalam.
Dalam hal ini, peran masyarakat dan berbagai pihak yang terkait menjadi sangat penting untuk melakukan pengawasan dan pencegahan penyimpangan demi menjaga keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan desa.