RENTAK.ID, BEKASI -Wakil Bendahara Umum Pengurus Besar KOPRI PMII, Mamay Muthmainnah menyampain keprihatinanya atas maraknya memberitakan soal pelecehan seksual yang dialami Miss Universe Indonesia 2023.
Dimana sebenarnaya, salah satu finalis dalam.ajang pemilihan ratu kecantikan tersebut, 8 sangat bergengsi karena membawa perwakilannya ke taraf global untuk mengharumkan nama Bangsa.
Terdapat 6 kontestan yang menjadi pihak pelapor yayasan penyelenggara Miss Univers Indonesia 2023 ke POLDA METRO JAYA pada, Selasa (7/8/2023) dengan pihak terlapornya yakni PT Capella Swastika Karya selaku pihak pemegang lisensi yang disangkakan melanggar Pasal 5 dan atau Pasal 6 Undang-Undang Tinda Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Pasal 14 junto Pasal 15 TPKS setelah pengecekan badan tanpa busana dan di ambil fotonya.
“Tentu, hal ini tidak ada dalam aturan manapun bahkan dalam dunia melamar pekerjaan sekalipun. Mengingat, pengambilan foto akan disalahgunakan apalagi dalam keadaan telanjang,” kata Mamay Muthmainnah, dikutip, Rabu (9/8/2023).
Kasus ini mencuat, beber Mamay, seiring dengan anggapan bahwa kontestasi ajang pemilihan ratu kecantikan menjadi standar kecantikan yang di nepotisme, sangat culas dengan tujuan untuk apa kontestasi itu di gelar.
“Kasus ini mencoreng nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi kesempatan emas untuk mengangkat harkat dan martabat derajat perempuan indonesia di mata dunia,” ujar Mamay.
Sangat disayangkan, ada beberapa oknum yang malah meruntuhkan kesempatan emas perempuan-perempuan potensial itu untuk mempromosikan dirinya, sebagai kekuatan yang tidak hanya urusan kecantikan, tapi juga kecerdasan dan potensi yang dimiliki pada setiap individu.
“Sekali lagi, kasus pelecehan seksual ini sangat memalukan dan tidak bisa dibenarkan, jelas ini sangat berlawanan dengan spirit untuk memberdayakan “empowering women” sebab tidak ada penilaian yang mengkategorikan apapun bahkan mewajibkan melihat tubuh peserta telanjang dan di abadikan gambarnya,” sebutnya.
Jika memang terbukti bersalah, selain rujukan dari pasal 5 dan atau Pasal 6 Undang-Undang Tinda Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Pasal 14 junto Pasal 15 TPKS, pelaku juga bisa dijerat dengan UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang memiliki muatan kesusilaan dengan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Polisi juga bisa menerapkan Pasal 369 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku jika terdapat ancaman dan kekerasan terhadap korban. ***