JAKARTA – Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), Azmi Syahputra, menyoroti urgensi pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah berlaku sejak 1981.
Ia menyebut KUHAP sebagai “karya agung bangsa Indonesia” yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dibandingkan dengan aturan sebelumnya, Herziene Inlandsch Reglement (HIR).
Namun, menurut Azmi, KUHAP yang sudah berusia hampir 44 tahun perlu ditinjau kembali, terutama dalam aspek sistem dan fungsinya.
“KUHAP baru nanti harus mampu memperkuat wajah dan kualitas penegakan hukum. Apalagi, pemerintah menargetkan KUHAP baru ini dapat berjalan beriringan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 2 Januari 2026,” ujarnya, Senin (3/2/2025).
Azmi menekankan, bahwa KUHAP sangat erat kaitannya dengan mekanisme kerja lembaga penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan.
“Perubahan total pada KUHAP bisa memicu dinamika kekuasaan antara institusi negara, terutama kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah,” katanya.
Ia memperingatkan bahwa perubahan besar berpotensi menimbulkan resistensi. “Kalau kepolisian kehilangan sebagian kewenangan dalam menentukan arah penyidikan, pasti akan ada ketegangan antara lembaga penegak hukum,” tambahnya.
Salah satu persoalan yang sering muncul dalam praktik adalah proses penyidikan ke penuntutan yang berulang-ulang. “Berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan jaksa, ini yang harus diperbaiki di KUHAP baru agar lebih efisien. Polisi juga harus lebih selektif sejak tahap penyelidikan,” jelas Azmi.
Menurut Azmi, aparat penegak hukum masih cenderung enggan menerima kritik dari masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, perlu ada lembaga koreksi yang lebih kuat.
“Lembaga praperadilan harus diperluas kewenangannya. Hakim yang menangani jangan lagi tunggal, persidangan juga tidak cukup hanya tujuh hari, minimal dua minggu. Selain itu, praperadilan harus tetap berjalan meski berkas sudah dilimpahkan ke pengadilan,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa KUHAP baru perlu mengatur mekanisme ganti rugi bagi korban ketidakadilan. “Harus ada lembaga khusus yang menjamin hak korban atas tindakan sewenang-wenang aparat hukum,” ujar Azmi.
Perlindungan hak asasi manusia dalam KUHAP juga perlu diperjelas, terutama dalam hal peran advokat. “Advokat harus punya kewenangan lebih jelas sejak seseorang dipanggil sebagai saksi hingga persidangan. Jangan sampai mereka hanya berperan pasif,” ungkapnya.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) juga harus lebih diperkuat. “Harus ada sinkronisasi aturan pidana di luar KUHAP agar sistem hukum kita lebih harmonis,” katanya.
Azmi juga menyoroti perlunya pembaruan dalam aspek digitalisasi hukum. “Dengan dampak globalisasi, kita butuh sistem digital yang terintegrasi untuk meningkatkan efisiensi kerja aparat hukum,” jelasnya.
Pada akhirnya, Azmi berharap pembaruan KUHAP dapat memperkuat transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum di Indonesia. “KUHAP yang baru harus membangun optimisme terhadap negara hukum yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada keadilan,” pungkas dosen hukum Trisakti ini. ***
Penulis : rizal
Editor : ameri