JAKARTA – Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menekankan pentingnya kebijakan yang bijaksana dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Menurutnya, meski program ini memiliki tujuan mulia, anggarannya tidak boleh mengorbankan sektor krusial lain seperti infrastruktur, transportasi, kesehatan, dan pendidikan.
“Program Makan Bergizi Gratis adalah inisiatif yang patut didukung. Namun, pelaksanaannya harus bijaksana agar tidak memangkas anggaran dari kementerian atau lembaga lain yang sama pentingnya untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045,” ujar Djoko, Senin (8/9/2025).
Ia menegaskan, MBG sebaiknya berjalan beriringan dengan program layanan publik dasar, bukan menggantikannya. “Jangan sampai salah satu harus dikorbankan. Infrastruktur dan transportasi sama pentingnya dengan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan,” tambahnya.
Anggaran Fantastis untuk MBG, Transportasi Terancam Tersisih
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, Program MBG diusulkan dengan anggaran fantastis Rp 335 triliun, bersanding dengan program ketahanan pangan (Rp 164,4 triliun), ketahanan energi (Rp 402,4 triliun), serta pertahanan dan keamanan (Rp 425 triliun).
Sementara itu, pendidikan mendapat Rp 575,8 triliun dan kesehatan Rp 244 triliun sebagai program pendukung. Besarnya alokasi untuk MBG memunculkan kekhawatiran terkait prioritas pemerintah dalam pembangunan nasional.
“Dengan dana sebesar itu, pertanyaannya adalah apakah program-program lain yang juga vital, seperti keberlanjutan infrastruktur dan transportasi yang berkeselamatan, tidak akan terpinggirkan,” kata Djoko.
Menurutnya, daerah-daerah miskin sering kali memiliki aksesibilitas yang buruk akibat minimnya infrastruktur dan transportasi umum. Tanpa perbaikan sektor ini, program MBG berisiko tidak efektif. “Sulit membayangkan masyarakat di daerah terpencil keluar dari kemiskinan tanpa jalan dan angkutan umum yang memadai,” tegas Djoko.
Angkutan Umum: Solusi Mengatasi Kemiskinan dan Putus Sekolah
Pemerintah berencana membenahi angkutan umum di 20 kota melalui RPJMN 2025–2029. Namun, anggaran untuk skema Buy The Service (BTS) justru terus menurun.
2020: Rp 51,83 miliar
2021: Rp 312,25 miliar
2022: Rp 552,91 miliar
2023: Rp 582,98 miliar (puncak)
2024: Rp 437,89 miliar
2025: Rp 177,49 miliar
2026: Rp 80 miliar (direncanakan)
“Penurunan ini membuat keberhasilan program transportasi umum sangat diragukan,” ujar Djoko.
Ia mencontohkan, di beberapa wilayah Jawa Tengah, ketiadaan angkutan umum memicu masalah sosial, termasuk tingginya angka putus sekolah. “Anak-anak tidak bisa berangkat sekolah karena tidak ada transportasi. Ini berujung pada pernikahan dini dan meningkatnya bayi stunting,” jelasnya.
Djoko menekankan, transportasi umum bukan sekadar solusi kemacetan, tetapi alat pemberdayaan masyarakat miskin. “Sangat disayangkan jika anggaran transportasi umum dipotong hanya untuk mendukung program lain. Ini justru kontraproduktif dalam mengentaskan kemiskinan,” tegasnya.
Jalan Rusak Hambat Distribusi dan Angkutan Perintis
Berdasarkan data SK Menteri PUPR No. 1688/KPTS/M/2022, total panjang jalan di Indonesia mencapai 529.132 km. Dari jumlah itu, 441.250 km merupakan jalan kabupaten/kota, namun kondisinya memprihatinkan:
12,5% (55.501 km) rusak ringan
26,7% (117.654 km) rusak berat
Total 39,2% (173.155 km) tidak mantap
Pada 2023, pemerintah mengalokasikan Rp 14,6 triliun untuk Program Inpres Jalan Daerah (IJD) dan Rp 15 triliun pada 2024. Namun, program ini dihentikan pada 2025, sehingga banyak jalan rusak belum tertangani.
Dampaknya juga dirasakan Perum Damri, yang mengoperasikan 34 trayek angkutan perintis, terutama di Jambi dan Papua Selatan. Menurut data Damri 2021, 14% ruas jalan angkutan perintis rusak, dengan kondisi terburuk di Sulawesi Selatan.
“Perbaikan jalan kabupaten/kota akan memperlancar distribusi barang dan orang. Ini memungkinkan penambahan trayek angkutan perintis yang saat ini hanya sembilan trayek, padahal kebutuhan jauh lebih besar,” ungkap Djoko.
Keselamatan Transportasi di Titik Nadir
Pakar transportasi Darmaningtyas mengkritik lemahnya perhatian pemerintah terhadap keselamatan transportasi.
“Banyak kecelakaan terjadi karena data kecelakaan tidak digunakan untuk membuat kebijakan. Nyawa hilang sia-sia di jalan,” ujarnya.
Data Korlantas Polri 2024 menunjukkan kondisi memprihatinkan:
39,48% korban kecelakaan adalah pelajar/mahasiswa (usia 6–25 tahun)
39,26% korban berada pada usia produktif (25–55 tahun)
Empat orang meninggal setiap jam akibat kecelakaan di jalan raya
Sementara itu, anggaran operasional KNKT dan pemeliharaan rel kereta api (IMO) justru dipotong, padahal jaringan rel terus bertambah. Anggaran untuk rampcheck angkutan wisata dan barang juga sangat minim, bahkan Direktorat Keselamatan Transportasi Darat sudah dibubarkan, membuat pengawasan semakin lemah.
Subsidi Transportasi untuk Wilayah 3T
Djoko mengingatkan, subsidi transportasi di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) sangat vital bagi pergerakan orang dan barang. Transportasi yang terjangkau membantu masyarakat tetap produktif tanpa membebani ekonomi keluarga.
“Transportasi publik adalah penyelamat bagi masyarakat miskin. Ini seharusnya menjadi prioritas, bukan dipangkas,” tegasnya.
Menuju Indonesia Emas 2045
Djoko menutup dengan pesan penting tentang visi Indonesia Emas 2045.
“Ciri negara maju bukan hanya makanan bergizi, tetapi juga transportasi umum yang berkualitas, jalan mantap hingga pelosok, dan tingkat kecelakaan yang rendah,” jelasnya.
Ia mengingatkan pemerintah agar bijak mengalokasikan anggaran. “Jangan memotong dana untuk infrastruktur, transportasi, dan keselamatan. Lebih baik memangkas fasilitas mewah bagi pejabat, seperti mobil dinas dan perjalanan yang tidak mendesak,” pungkas Djoko.
Dengan pengelolaan anggaran yang tepat, Djoko optimistis Indonesia dapat mewujudkan mimpi menjadi negara maju pada 2045.
Penulis : regardo sipiroko
Editor : gardo