Mandailing Natal – Di tengah hiruk-pikuk perdebatan politik yang tak berujung dan sengkarut isu nasional, sering kali kita lupa bahwa ada kisah-kisah lokal yang menyimpan nilai sejarah dan kearifan luar biasa. Seperti Pakantan, sebuah wilayah kecil di kaki Gunung Kulabu, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Tempat ini bukan sekadar titik di peta, melainkan lembaran sejarah yang nyaris terabaikan, di mana jejak manusia, budaya, dan spiritualitas berpadu dalam harmoni yang sulit ditemukan di era modern.
Pakantan dikenal sebagai kampung leluhur salah satu tokoh besar pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia, Prof. Adnan Buyung Nasution. Rasa penasaran membawa saya menelusuri jejaknya hingga bertemu dengan sosok yang disebut “Ompung Jenderal,” seorang tetua yang konon memahami seluk-beluk sejarah Pakantan.
“Mari, kita ziarah dulu ke makam Raja Mangalaon Tua na Mangarotap Banua,” ajaknya begitu saya tiba di rumahnya.
Raja Mangalaon Tua adalah figur legendaris, dianggap sebagai pendiri Kampung Mangarotap Banua. Usianya terlampau jauh untuk dilacak, bahkan tak ada yang tahu pasti kapan beliau lahir atau wafat. Meski begitu, sejarah mencatat kehadiran zending Kristen Ortodoks dari Rusia di wilayah ini sejak tahun 1837, menandakan bahwa Gereja tertua di Sumatera Utara justru berdiri di Pakantan—bahkan sebelum Kristen berkembang pesat di wilayah Toba.
“Ompung Jenderal” bercerita bahwa makam Raja Mangalaon Tua sering diziarahi orang dari berbagai daerah, bahkan luar Sumatera.
“Entah siapa yang pertama kali mengabarkan soal makam ini, tapi orang-orang datang dengan niat yang berbeda-beda. Ada yang mencari berkah, ada pula yang sekadar ingin merasakan kedamaian di tempat ini,” tuturnya sambil menatap jauh ke arah makam yang diselimuti kabut tipis.
Selain makam pendiri kampung, terdapat pula makam-makam kuno lain yang diyakini sebagai leluhur bermarga Nasution. Aura mistis terasa kental di sini, apalagi dengan kisah-kisah turun-temurun tentang angkernya Gunung Kulabu. Meski demikian, masyarakat setempat justru menjaga jarak dengan gunung itu. Tidak ada yang berani mendaki, apalagi mengeksplorasi kekayaan alamnya.
Padahal, konon katanya, Gunung Kulabu menyimpan cadangan emas melimpah di sepanjang hulu sungai Wilayah Batang Gadis. Namun masyarakat Pakantan seolah memegang teguh ajaran leluhur untuk tidak serakah.
“Mungkin ada ilmu yang ditanamkan para pendahulu kami, agar kami tidak tergoda untuk mengeksploitasi alam ini,” kata seorang warga setempat.
Pakantan adalah cermin kearifan lokal yang patut kita renungkan. Di sini, rasa syukur, toleransi, dan penghormatan kepada leluhur hidup dalam keseharian masyarakat. Nilai-nilai ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya jauh lebih berharga daripada hiruk-pikuk dunia politik modern yang penuh ambisi dan kepalsuan.
Di tengah gempuran modernisasi dan nafsu manusia yang kerap mengabaikan akar budaya, Pakantan berdiri teguh sebagai saksi bisu bahwa menghargai sejarah dan menjaga harmoni dengan alam adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi. (Rahmat Kurnia Lubis)
Penulis : Rahmat Kurnia Lubis
Editor : Erka