RENTAK.ID – Ibnu Batutah, atau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al-Tanji bin Batutah, lahir pada 24 Februari 1304 di Tangier, Maroko. Ia diakui sebagai salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah umat manusia. Kisah hidupnya yang penuh petualangan diabadikan dalam sebuah karya monumental berjudul “Rihla” yang berarti “Perjalanan.”
Perjalanan luar biasa Ibnu Batutah dimulai pada tahun 1325, ketika ia baru berusia 21 tahun. Niat awalnya sederhana, yakni menunaikan ibadah haji ke Mekah. “Aku meninggalkan kampung halamanku tanpa berniat kembali,” ungkapnya dalam catatan perjalanannya. Namun, siapa sangka perjalanan haji tersebut menjadi awal dari penjelajahan panjang yang membawanya melintasi benua dan samudra.
Dari Maroko, Ibnu Batutah menelusuri pantai Afrika Utara, melewati Mesir, dan tiba di wilayah Hijaz untuk menunaikan haji. Setelah menuntaskan kewajiban spiritualnya di Mekah, ia merasa belum cukup puas. “Hatiku terus terpanggil untuk melihat dunia yang lebih luas,” tulisnya. Ia pun melanjutkan perjalanan menuju Irak, Persia, dan Turki, menjelajahi kota-kota penuh sejarah dan budaya yang beragam.
Perjalanannya tak berhenti di situ. Ia menembus wilayah Asia Tengah, melewati pegunungan Afganistan, hingga tiba di India. Di sana, Ibnu Batutah mendapat kehormatan sebagai qadi (hakim) di Kesultanan Delhi di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad bin Tughluq. “Sultan memberiku kepercayaan yang besar, namun hatiku tetap rindu akan perjalanan,” kenangnya.
Tak puas hanya menjelajahi daratan Asia Selatan, Ibnu Batutah melanjutkan petualangannya ke Asia Tenggara. Ia menginjakkan kaki di kepulauan Maladewa, Sumatra, dan akhirnya mencapai daratan Tiongkok. Di negeri tirai bambu itu, ia mengunjungi pelabuhan-pelabuhan penting seperti Guangzhou, menyaksikan kemegahan budaya dan perdagangan di sana.
Setelah bertahun-tahun menjelajah, Ibnu Batutah kembali ke Maroko pada tahun 1349. Namun, semangat petualangannya belum juga padam. Ia segera berangkat lagi menuju Afrika Barat, menjelajahi Kerajaan Mali, dan mengunjungi kota-kota legendaris seperti Timbuktu dan Gao. “Aku terpesona dengan kekayaan budaya dan pengetahuan di tanah Afrika Barat,” tulisnya penuh kekaguman.
Hampir tiga dekade setelah meninggalkan tanah kelahirannya, Ibnu Batutah akhirnya menetap di Maroko. Ia mendiktekan kisah perjalanannya kepada seorang penulis bernama Ibn Juzayy, menghasilkan karya “Rihla”, salah satu catatan perjalanan paling berharga dalam sejarah. Karya ini bukan hanya sekadar buku harian, melainkan jendela yang membuka wawasan tentang dunia abad ke-14.
Ibnu Batutah menghembuskan napas terakhir pada tahun 1369 di Tangier, tempat ia dilahirkan. Meski namanya tak setenar penjelajah Eropa seperti Marco Polo, warisan yang ditinggalkannya sangat berharga. Ia telah menempuh lebih dari 120.000 kilometer, melintasi gurun, samudra, dan pegunungan, menjelajahi beragam budaya, agama, dan peradaban.
Perjalanannya bukan saja sekadar mengarungi jarak, melainkan juga menyelami makna kehidupan, Ibnu Batutah dikenal bukan hanya sekedar penjelajah tapi ia juga seorang penulis, semangat nya terus menggelora mewartakan dunia, ia terus hidup dalam setiap catatan yang ditinggalkannya, sang penjelajah sejati. (RKL)
Penulis : Rahmat Kurnia Lubis
Editor : Erka