RENTAK.ID – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) mendorong perguruan tinggi negeri untuk bersikap bijaksana dan mempertimbangkan asas keadilan dalam penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Hal ini disampaikan oleh Pelaksana tugas (Plt.) Sekretaris Ditjen Diktiristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie dalam sebuah konferensi pers di Gedung D, Kantor Kemendikbudristek di Jakarta, Rabu 15 Mei 2024.
“Penyelenggaraan pendidikan tinggi haruslah inklusif dan dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan akademis tinggi,” kata Tjitjik.
Oleh sebab itu, dalam penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT), pemerintah mewajibkan agar terdapat penetapan UKT 1 dan UKT 2 dengan proporsi minimum 20% dari jumlah yang ada.
“Dalam hal ini, UKT 1 memiliki besaran sebesar lima ratus ribu rupiah, sementara UKT 2 memiliki besaran sebesar satu juta rupiah,” ucapnya.
Penetapan proporsi UKT 1 dan UKT 2 tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat yang kurang mampu tetapi memiliki kemampuan akademik tinggi dapat memperoleh akses pendidikan tinggi (tertiary education) yang berkualitas.
Tjitjik menegaskan, bahwa perguruan tinggi memiliki kewenangan otonom untuk menyeragamkan UKT kelompok 3 dan seterusnya, namun ia mengingatkan agar penetapan besaran UKT tersebut tetap memperhatikan batasan maksimal besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang telah ditentukan.
“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) sebagai acuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi,” ucapnya.
SSBOPT di-review secara berkala dengan mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah.
“SSBOPT menjadi dasar pengalokasian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) serta penetapan BKT. Pendetapan UKT untuk setiap program studi diploma dan sarjana berdasarkan besaran BKT tersebut,” bebernya.
Tjitjik menjelaskan, intervensi pemerintah melalui BOPTN hanya mampu menutup 30% biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Oleh karena itu, perlu adanya peran serta masyarakat dalam berpartisipasi dalam mekanisme pendanaan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI).
Selain itu, Tjitjik juga mendorong perguruan tinggi untuk mengoptimalkan pengelolaan aset mereka agar dapat menambah pendapatan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tampak pada UKT dan IPI.
Tjitjik menegaskan bahwa saat ini Ditjen Diktiristek terus berkoordinasi dengan pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan memantau agar penyesuaian UKT tidak melebihi standar pembiayaan yang telah ditentukan.
“Hal ini perlu memperhatikan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku. Selain itu, ia juga mendorong PTN untuk terus memberikan sosialisasi terkait UKT kepada para pemangku kepentingan masing-masing,” katanya.