RENTAK.ID, JAKARTA – Rencana penerapan Work From Home (WFH) bagi sebagaian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta, bukanlah solusi terhadap persoalan polusi udara yang disebut sangat tinggi di Ibu Kota.
Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar.
Menurut Timboel Siregar, polusi udara di Kota Jakarta dan sekitarnya sudah menjadi masalah klasik. Namun pemberitaan tentang polusi udara tersebut menjadi pemberitaan yang sangat serius di saat-saat ini. Dampaknya sangat signifikan mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Salah satu yang menyebabkan terjadinya polusi udara adalah kendaraan bermotor, yang jumlahnya semakin banyak sehingga terus mengkontribusi pada peningkatan polusi udara.
Atas masalah ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menginstruksikan agar semua Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda DKI menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau Work from home (WFH).
Tak hanya itu, Menteri Luhut juga menginstruksikan pengetatan kendaraan ganjil-genap dan menaikkan tarif parkir.
Atas instruksi tersebut Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan kebijakan WFH mulai 21 Agustus 2023.
Dengan WFH diharapkan kendaraan yang beroperasi di jalan-jalan Ibu Kota dan sekitarnya akan berkurang sehingga menurunkan tingkat polusi udara.
“Namun kebijakan ini tentunya akan mempengaruhi geliat ekonomi kalangan pekerja informal seperti rumah makan, transportasi online, dan lain sebagainya, sehingga pendapatan mereka akan berkurang karena konsumennya berkurang,” tutur Timboel Siregar, Senin (21/08/2023).
“Kebijakan WFH bukanlah solusi untuk mengatasi polusi secara sistemik. Bila WFH diterapkan lalu polusi menurun, dan karena sudah menurun maka setelah itu para karyawan Kementerian atau Lembaga dan Pemda kembali masuk kerja secara on site, lalu terjadi lagi peningkatan kendaraan di jalanan sehingga polusi marak lagi,” lanjut Timboel Siregar.
“Kembali ada kebijakan WFH. Ini kan bukan solusi sistemik, apalagi berpengaruh pada sektor informal,” lanjutnya.
Menurut Timboel Siregar, sebaiknya karyawan di Kementerian atau Lembaga, dan Pemda diinstruksikan menggunakan fasilitas kendaraan umum seperti Transjakarta atau mobil jemputan yang disediakan instansi K/L dan Pemda. Sehingga mereka tidak lagi menggunakan kendaraan pribadinya.
Tentunya, kata dia lagi, instruksi menggunakan angkutan umum atau mobil jemputan ini harus dikaitkan dengan pemberian Tunjangan Kinerja (Tukin), sehingga kebijakan tersebut akan mudah dipatuhi.
“Kebijakan ini pun akan berdampak pada penurunan konsumsi Bahan Bakar Minyak atau BBM, sehingga subsidi BBM akan lebih ringan bagi APBN,” jelasnya.
Selama ini, dikatakan Timboel Siregar, pemberian Tukin hanya dikaitkan dengan kehadiran si karyawan.
Dan ke depan diharapkan pemberian Tukin bisa menimbulkan kesadaran sistemik untuk menggunakan kendaraan umum atau mobil jemputan yang disediakan instansi K/L atau Pemda.
“Semoga kesadaran kolektif, paling tidak untuk karyawan Kementerian atau Lembaga dan Pemda, untuk menggunakan fasilitas transportasi umum dan kendaraan yang disediakan akan menurunkan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya secara signifikan,” tandas Timboel Siregar.