RENTAK.ID, JAKARTA – Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, bahwa adanya wacana pengenaan cukai minuman berpemanis (MBDK/Minuman Berpemanis Dalam Kemasan) pada 2023, berjalan anti klimaks.
Sebab katanya, tTerbukti Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, telah membatalkan wacana tersebut, dengan berbagai alasan. Intinya, Pemerintah tidak akan mengenakan cukai pada minuman berpemanis pada 2023, dan akan mengenakannya pada 2024.
“Sebuah pernyataan yang paradoks dan absurd,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangannya, Sabtu (29/7/2023).
Tulus menyebut kKenapa paradoks dan absurd, ia pun menjelasjannya, yakni pemerintah telah menggadaikan kepentingan dan perlindungan masyarakat, khususnya anak anak dan remaja, demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
“Dalam hal ini, Dirjen Askolani bisa dikategorikan melawan perintah Presiden Jokowi yang sejatinya berkomitmen untuk mengenakan cukai minuman berpemanis dan cukai plastik pada 2023 ini. Atau sejatinya Presiden Jokowi yang bersikap ambigu,” ucapnya.
Tulus membeberkan, tingginya konsumsi minuman berpemanis, dengan kenaikan 4 kali lipat selama satu dekade ini; terbukti berkontribusi signifikan terhadap tingginya prevalensi kegemukan dan obesitas di kalangan anak dan remaja; yang kemudian klimaksnya adalah tingginya prevalensi penyakit tidak menular, terutama penyakit diabetes melitus.
“Alasan-alasan yang dikemukakan Dirjen Adkolani untuk pembatalan itu lebih terkesan klise belaka, tetapi sejatinya pemerintah tak punya nyali yang cukup atas tekanan pihak industri MBDK. Padahal pengenaan cukai pada MBDK tidak berdampak signifikan pada penurunan keseluruhan pendapatan industri MBDK,” ucapnya.
Sebab, berdasar survei CISDI, dampak kenaikan cukai memang sebagian konsumen akan stop mengonsumsi MBDK, namun sikap ini akan diikuti dengan migrasi mengonsumsi AMDK (Air Mineral Dalam Kemasan). Artinya penurunan revenue industri akibat turunnya konsumsi MBDK, akan tergantikan dengan revenue dari peningkatan konsumsi AMDK oleh masyarakat; sebab industri MBDK juga memproduksi AMDK.
“Tentunya migrasi dari konsumsi MBDK ke konsumsi AMDK jauh lebih positif baik dari sisi kesehatan dan atau ekonomi,” bebernya.
Pernyataan Dirjen Bea dan Cukai, ucap Tulus, yang akan mengenakan cukai minuman berpemanis pada 2024 adalah pepesan kosong. Sebab mana mungkin pemerintah akan berani mengenakan kebijakan pengenaan cukai minuman berpemanis di saat sedang puncak tahun politik yakni pemilu 2024?
Dari sisi politis, ini hal yang mustahil kebijakan tersebut akan dieksekusi. Sedangkan kenaikan cukai rokok saja langsung dieksekusi untuk dua tahun sekaligus. yakni 2023 dan 2024, secara bersamaan demi memitigasi dampak politis pemilu 2024 tersebut. Padahal dari sisi regulasi (menurut UU tentang Cukai) bahwa cukai rokok dimandatkan untuk naik setiap tahunnya;
“Jadi pernyataan Dirjen Bea dan Cukai yang akan mengenakan cukai minuman berpemanis pada 2024, itu sama saja membatalkan 100% terhadap wacana dimaksud. YLKI menduga dengan kuat pembatalan ini atas intervdnsi kuat dari pihak industri MBDK/AMDK,” tegasnya.
Oleh karena itu, Tulus menyebut, demi melindungi konsumen dan masyarakat luas, YLKI meminta Presiden Joko Widodo untuk tetap berkomitmen mengenakan cukai minuman berpemanis pada 2023 ini, dan menganulir pernyataan Dirjen Bea dan Cukai tersebut.
“Data begitu kuat menunjukkan bahwa saat ini prevalensi kegemukan dan obesitas, yang berujung pada tingginya prevalensi penyakit diabetes melitus dan penyakit tidak menular lainnya, pemicu utamanya adalah faktor gaya hidup yang tidak sehat, yakni salah satunya adalah tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Diharapkan dengan pengenaan cukai MBDK tersebut menjadi upaya untuk mewujudkan gaya hidup yang lebih sehat, karena masyarakat akan mengurangi konsumsi MBDK, dan beralih mengonsumsi AMDK (air mineral dalam kemasan),” sebutnya.
Presiden Joko Widodo harusnya punya concern dan komitmen tinggi untuk mewujudkan derajad kesehatan masyarakat, dengan menekan tingginya prevalensi penyakit tidak menular, yang endingnya akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
“Dan sebaliknya, jika prevalensi penyakit tidak menular tidak bisa dikendalikan, karena faktor gaya hidup tidak sehat makin kental, maka bonus demografi dengan generasi emas pada 2045, akan menjadi mitos belaka. Yang akan terwujud bukan generasi emas, tapi generasi cemas, generasi yang sakit-sakitan. Apakah generasi seperti ini yang akan menjadi legacy Presiden Joko Widodo,” tutupnya. (amer)