JAKARTA – Wacana diversifikasi sumber impor minyak mentah dari Rusia terus bergulir. Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PKB, Ratna Juwita, menyatakan dukungannya terhadap langkah tersebut, namun menekankan pentingnya kajian yang mendalam terkait dampaknya, baik dalam konteks diplomasi maupun perdagangan internasional.
“Kami mendukung upaya diversifikasi impor minyak Indonesia, termasuk dari Rusia. Tapi, dengan situasi global yang masih penuh ketidakpastian, diperlukan kajian matang. Apakah keputusan ini akan membawa keuntungan bagi posisi Indonesia dalam hubungan internasional atau tidak?” kata Ratna Juwita dalam keterangannya, Senin (13/1/2025).
Wacana ini muncul setelah Indonesia resmi menjadi anggota penuh blok ekonomi BRICS. Ketua Dewan Ekonomi Nasional sekaligus Penasihat Khusus Presiden urusan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menilai impor minyak dari Rusia bisa menjadi langkah strategis jika secara ekonomi memberikan manfaat signifikan. Hingga saat ini, impor minyak Indonesia sebagian besar berasal dari Nigeria dan Arab Saudi.
Ratna mengungkapkan bahwa sektor minyak dan gas (migas) Indonesia terus mengalami defisit neraca perdagangan. Berdasarkan data BPS, defisit neraca migas pada 2023 mencapai USD1,7 miliar, meningkat menjadi USD2,32 miliar di 2024. “Defisit ini mayoritas berasal dari impor minyak mentah,” ujarnya.
Rata-rata impor minyak mentah Indonesia mencapai 15 juta ton per tahun, dengan pemasok utama berasal dari Nigeria (5,6 juta ton), Arab Saudi (4,1 juta ton), dan Azerbaijan (1 juta ton). Menurut Ratna, jika Rusia mampu menawarkan harga lebih kompetitif, hal ini dapat membantu menekan defisit tersebut. “Kalau harga minyak dari Rusia lebih murah, otomatis biaya impor kita akan turun, dan ini berkontribusi pada pengurangan defisit migas,” tambahnya.
Namun, Ratna mengingatkan bahwa mendekatkan hubungan ekonomi dengan Rusia bukan tanpa risiko. “Perlu dipertimbangkan apakah langkah ini dapat memengaruhi hubungan kita dengan negara lain, seperti Singapura dan Jepang, yang merupakan mitra ekonomi penting Indonesia,” jelas legislator asal Dapil Jatim VIII tersebut.
Selain itu, ia menyoroti tantangan logistik dan sanksi ekonomi terhadap Rusia yang dapat menghambat transaksi. “Jarak Rusia yang jauh berpotensi meningkatkan biaya logistik. Ditambah lagi, sanksi dari negara Barat bisa mempersulit akses ke sistem pembayaran internasional,” tegasnya.
Ratna menutup dengan menyerukan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan ini. “Kita harus memastikan semua risiko sudah diperhitungkan dengan matang agar kebijakan ini benar-benar membawa manfaat bagi Indonesia,” tutupnya. (***)