MALAM itu, hujan turun rintik-rintik di kawasan Bintaro. Udara terasa berat dan angin berhembus pelan, seakan membawa bisikan-bisikan dari masa lalu. Di jalur rel yang sunyi, seorang pemuda bernama Raka berjalan pulang melewati lintasan yang terkenal angker itu.
Raka sudah sering mendengar cerita tentang Tragedi Bintaro, kecelakaan kereta api paling tragis dalam sejarah Indonesia yang merenggut 156 nyawa. Namun, ia tak pernah percaya dengan kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang.
Malam itu, semuanya berubah.
Saat melewati rel tua yang kini jarang digunakan, Raka mendengar suara derap langkah di belakangnya. Ia menoleh, tetapi tidak ada siapa pun. Hatinya mulai gelisah, tetapi ia tetap melangkah. Tiba-tiba, suara peluit kereta terdengar nyaring di kejauhan. Jantungnya berdegup kencang.
“Tidak mungkin,” gumamnya. “Kereta malam sudah tidak lagi melintas di sini.”
Namun, suara gemuruh itu semakin mendekat. Dari kejauhan, samar-samar Raka melihat cahaya lampu besar—terang dan menembus kegelapan. Seperti kereta tua yang melaju kencang tanpa pengendali. Saat cahaya itu semakin dekat, ia mulai melihat sosok-sosok di dalam gerbong—penumpang dengan wajah pucat, mata kosong, dan tubuh bersimbah darah.
Salah satu sosok itu menatapnya, seorang wanita dengan wajah penuh luka, bibirnya bergerak tanpa suara, seakan ingin menyampaikan sesuatu. Ketika kereta itu melintas, suara jeritan memilukan terdengar, menggema di seluruh kawasan.
Raka membeku. Tubuhnya tak bisa bergerak. Namun, dalam sekejap, kereta itu lenyap, menyisakan kesunyian yang mencekam. Hanya suara angin yang berhembus pelan, seolah-olah membawa kesedihan yang tak kunjung padam.
Dengan nafas tersengal, Raka mencoba melangkah kembali, tetapi langkahnya terasa berat. Ia menunduk dan melihat kakinya menginjak sesuatu—selembar tiket kereta yang sudah lusuh dan sobek. Dengan gemetar, ia mengambilnya dan membaca tulisan di atasnya: “Merak-Rangkasbitung, 19 Oktober 1987.”
Jantungnya hampir berhenti. Itu adalah tanggal Tragedi Bintaro terjadi.
Tiba-tiba, udara di sekitarnya menjadi lebih dingin. Bisikan-bisikan lirih mulai terdengar di telinganya, menyebut namanya berulang kali. “Raka… Raka…”
Ia berbalik dan melihat sosok wanita yang tadi ada di gerbong kini berdiri di tengah rel, tubuhnya transparan dengan tatapan kosong yang menyayat hati. Bibirnya bergerak-gerak sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat darah Raka membeku:
“Tolong… cari aku…”
Tanpa berpikir panjang, Raka berlari sekuat tenaga, meninggalkan rel angker itu. Namun, malam-malam berikutnya, mimpi buruk terus menghantuinya. Ia selalu melihat sosok wanita itu, berdiri di ujung rel, menunggunya. Dan suara kereta itu… masih terdengar, semakin dekat… semakin nyata…
Sejak malam itu, Raka tak pernah lagi meragukan kisah tentang Tragedi Bintaro. Dan bagi mereka yang berani melewati rel itu di malam hari, bersiaplah—karena suara kereta dan jeritan penumpangnya masih terdengar hingga kini.
Penulis : regardo
Editor : regardo