“Sekali Berarti Sudah Itu Mati,” 101 Tahun Chairil Anwar dari Indonesia untuk Dunia

RENTAK.ID – “Sekali Berarti Sudah Itu Mati,” adalah sepenggal bait dari puisi Chairil Anwar yang berjudul “Diponegoro” (Februari 1943).

Jelas menyatakan, kekerasannya terhadap hidup dan ajal. Buktinya, berpulangnya penyair kelahiran Medan ini selalu dikenang setiap tahunnya.

101 Chairil Anwar, pun Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bersama Duta Besar Negara Sahabat masih sempat menggelar pembacaan puisi karya Chairil Anwar di Museum Nasional yang bertepatan dengan hari lahir-nya sang penyair, 26 Juli 2023 .

Chairil Anwar merupakan sosok yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan perpuisian Indonesia modern. Chairil adalah sosok penyair-pejuang yang aktif pada masa-masa perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia terlebih Chairil Anwar memiliki kontribusi besar dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Dalam sambutannya Hilmar mengaku, ide untuk mengajak partisipasi para duta besar dan perwakilan negara sahabat terlibat dalam “perjalanan bahasa seni” timbul setelah dirinya mengikuti pertemuan terkait terjemahan puisi Chairil Anwar ke berbagai bahasa dunia dan meyakini sosok Chairil Anwar cukup mewakili perjalanan bahasa Indonesia.

Selepas sambutan dari Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, anggota Lembaga Sensor Film Noorca M Massardi menjadi pembuka dengan membawakan puisi Siap Sedia yang diciptakan pada tahun 1944 yang bercerita mengenai semangat nasionalisme dalam melawan penjajahan Jepang kala itu. Kemudian Duta Besar Australia Penny Williams PSM membacakan puisi Sajak Putih yang ditulis pada tanggal 18 Januari 1944 dan diterbitkan di dalam dua antologi miliknya, yang pertama adalah Deru Campur Debu yang diterbitkan pada tahun 1993 oleh penerbit Dian Rakyat, Jakarta dan yang kedua adalah dalam antologi Tiga Menguak Takdir yang juga berisikan karya-karya milik Asrul Sani dan Rivai Apin dalam bahasa Indonesia.

Duta Besar Meksiko Armando G. Alvarez membacakan Cintaku Jauh di Pulau sebuah karya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Spanyol menjadi “Amor mío tan lejos en la isla” ditulis oleh Chairil Anwar pada tahun 1946, Chairil Anwar menulis sebuah puisi untuk pelukis Affandi ditahun 1946 yang berjudul Kepada Pelukis Affandi dibacakan oleh Penjabat Direktur Pusat kebudayaan India-Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre Ram Kumar. Karya-karya Chairil Anwar yang ditulis pada tahun 1946 dibacakan oleh diplomat Nigeria Yilfwang Barminas Yilkes yang membawakan Situasi dalam Bahasa Inggris, Duta Besar Timor Leste Filomeno Aleixo Da Cruz membacakan Pemberian Tahu yang ia terjemahkan sendiri menjadi “Lia-Tatoli”, dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Ukraina Vasyl Hamianin membacakan Senja di Pelabuhan Kecil, serta Sajak Buat Basuki Resobowo dan diterjemahkan menjadi “Een gedicht voor Basuki Resobowo” yang ditulis pada 28 Februari 1947 dibawakan oleh Duta Besar Kerajaan Belanda Lambert Grijns.

Korea Selatan berkesempatan membacakan Buat Gadis Rasid yang ditulis pada tahun 1948. Dubes Thailand Prapan Disyatat membacakan Kita Guyah Lemah (22 Juli 1943), Inggris membacakan Taman (Maret 1943). Dan Prajurit Jaga Malam karya Chairil Anwar yang ditulis pada tahun 1948. dibacakan oleh Dubes Venezuela Radames Jesus Gomez Azuaje. Selain Australia, seluruh sajak Chairil Anwar dibacakan dalam bahasa masing-masing negara.

Tuti Artic yang ditulis pada tahun 1947 dibacakan oleh perwakilan dari Dewan Kesenian Jakarta, Sebagai penutup, Asmara Abigail membawakan Sajak Doa yang diciptakan oleh Chairil Anwar sejak November 1943 dan diterbitkan pertama kali dalam majalah lama Pantja Raja pada November 1946.

Selepas acara Hilmar Farid mengatakan dirinya merasa senang karena para pembaca yang merupakan perwakilan dari negara-negara sahabat sudah berusaha keras untuk menerjemahkan puisi-puisi Chairil Anwar.

“Sehingga, secara tak sadar, mereka sudah masuk dalam perjalanan menelusuri kebudayaan Indonesia secara aktif,” ucap Hilmar.

Hilmar menambahkan pandangan negara-negara sahabat mengenai sastra Indonesia, sudah dipelajari secara lebih mendalam. Mereka sudah bisa lebih merasakan soal penggunaan kata.

“Bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk menerjemahkan dalam bahasa masing-masing. Karrena pilihan rima tidak akan sama tetapi mereka berusaha sedemikian rupa mencari kata-kata yang pas sehingga maknanya tidak saja diterjemahkan dengan baik tetapi juga keindahan bunyinya dipertahankan,” papar Hilmar.

Chairil Anwar (1922-1949) adalah penyair dalam puisi Indonesia modern. Dengan puisinya, ia menjadikan bahasa Indonesia matang sebagai bahasa. Karya-karya dan kontribusi yang telah dilakukan oleh Chairil Anwar semasa hidupnya patut dikenang dan diapresiasi sampai kapan pun. Bahkan Ukraina secara khusus menerjemahkan karya Chairil Anwar kedalam bahasa Ukraina dan memberikan kenang-kenangan buku Memoar Perjalanan-Perjalanan Hidup Chairil Anwar “Aku” karya Sjuman Djaya yang baru terbit dan Kalender bergambar Chairil Anwar kepada Dirjen Kebudayaan. (lazir)

Pos terkait