Erick Thohir Dukung KPK Tuntaskan Kasus Dugaan Korupsi Pertamina

Gedung KPK

RENTAK.ID, JAKARTA – KPK telah menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina KA atas kasus yang diduga terjadi pada 2012 tersebut.

Tekait itu, Menteri BUMN Erick Thohir mendukung KPK menuntaskan kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina.

Bacaan Lainnya

Erick memaparkan, langkah hukum KPK tersebut sejalan dengan transformasi dan program bersih-bersih BUMN yang dijalankannya. “Program ini tidak hanya tadi secara karakter dengan fondasi akhlak tetapi juga good corporate governance,” kata Erick di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).

KA diangkat menjadi Dirut PT Pertamina pada periode 2009-2014. Erick menegaskan, kasus LNG Pertamina tersebut terjadi sebelum ia menjabat sebagai Menteri BUMN.

“Coba dicek kan ada juga pemberitaan bilang oh ini zaman Pak Erick Thohir sibuk. Lah PMN itu tahun 2015 dan itu ada audit BPK-nya,” ujarnya.

Erick pun memastikan, pengelolaan BUMN di bawah kepemimpinannya dilakukan secara transparan. Ditekankannya, BUMN yang didanai dari uang rakyat tidak boleh berbisnis dengan rakyat.

“BUMN tidak berbisnis dengan rakyat, tapi mendukung yang namanya pertumbuhan ekonomi yang harus kurang lebih 5 persen. Tetapi juga jangan menjaga disparitas antara kaya dan miskin,” ucapnya.

Kasus ini terjadi ketika PT Pertamina Persero memiliki rencana untuk pengadaan LNG. Hal itu sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia sekira 2012.

KA saat itu mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri. Produsen yang diajak kerja sama di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction LLC Amerika Serikat.

Tapi, saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, ia secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL. Keputusan yang diambil tersebut tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh.

KA juga tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero keputusannya tersebut. Akibat perbuatan tersebut, telah terjadi kerugian negara mencapai USD140 juta atau sekitar Rp2,1 triliun.

Pos terkait