RENTAK.ID – Seorang siswa Madrasah Aliyah, AR, melakukan tindakan kekerasan kepada gurunya saat pembagian nilai UTS di Demak, Senin (25/9/2023). Akibat kejadian ini guru kritis, beberapa siswa dikabarkan pingsan, dan sekolah diliburkan selama sepekan.
Kekerasan terhadap guru juga terjadi di SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu. Guru diketapel oleh seorang wali murid karena tidak terima anaknya ditegur setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Akibat kejadian tersebut guru mengalami kebutaan permanen dan trauma mengajar di sekolah yang sama.
Belakangan, kekerasan juga terjadi di Gresik mengakibatkan kebutaan seorang siswa SD. Serta, video kekerasan beberapa pelajar SMP di Cilacap yang viral.
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisin menyatakan, bahwa segala bentuk kekerasan tidak pernah dibenarkan dalam hal apapun, apalagi di dunia pendidikan. Namun, dirinya menyarankan pemerintah perlu mendalami lebih jauh apa penyebab kekerasan-kekerasan tersebut masih terjadi di dunia pendidikan.
Dia menyarankan agar pelaku pidana kekerasan anak seperti AR dihukum mengacu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dengan tetap memperhatikan hak-hak anak sesuai UU No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
“Kami mengamati, kasus-kasus kekerasan terjadi di berbagai jenis dan jenjang sekolah. Bahkan sekolah keagamaan yang cenderung dominan mengajarkan nilai-nilai moral. Di beberapa daerah, kekerasan masih membudaya dan dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan. Untuk mengubah budaya seperti ini tentu tidak mudah. Tidak cukup dengan menerbitkan regulasi. Perlu upaya serius dan terus menerus. Lebih jauh, YCG mencatat sejak awal tahun 2023 hingga sekarang telah terjadi 93 kasus kekerasan di lingkungan. Mulai dari diskriminasi, intoleransi, kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, dan lain-lain,” ucap Muhammad Mukhlisin dalam keterangannya, Kamis (28/9/2023).
Mukhlisin menyambut, baik regulasi Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun, implementasi di lapangan perlu mensinergikan berbagai pihak, terutama sekolah, keluarga, dan masyarakat. Selain itu, menurutnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan saat ini perlu terus menerus dikembangkan.
“Kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penting sekali dikembangkan sejak dini di sekolah. Bahkan untuk seluruh stakeholder pendidikan. Regulasi akan melindungi ekosistem pendidikan jika kesadaran murid, guru, wali murid dan seluruh stakeholder sudah terbangun. Pengalaman kami, penyadaran seperti ini tentu tidak bisa dilaksanakan secara instan, butuh waktu dan proses panjang,” tegasnya.
Sementara itu, Khaerul Anam, Guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Subang menuturkan bahwa saat ini tantangan sebagai guru semakin tinggi. Dia berharap organisasi guru dan pemerintah memperkuat perlindungan terhadap profesi guru. Meskipun begitu, sebagai guru dia juga merasa perlu refleksi secara berkelanjutan. Anak-anak saat ini hidup pada era teknologi yang mudah mendapatkan informasi dan jejaring pertemanan. Sayangnya, mereka juga semakin mudah terpapar budaya kekerasan.
“Guru perlu membangun komunikasi dan pendekatan intensif kepada siswa. Begitu juga dengan penanaman nilai-nilai moral, saling menghargai juga perlu terus dikembangkan dengan dasar kemanusiaan. Interaksi guru ke murid tidak sebatas pada proses pengajaran, tapi interaksi yang membangun nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat,”ucap Khaerul Anam.