“Perjalanan ini memang penuh tantangan, tetapi sangat berkesan,” ujar Afif, seorang wisatawan dari Demak yang telah dua kali mengunjungi kawasan Baduy. “Saya selalu terinspirasi oleh kehidupan mereka yang bersahaja, tetap melestarikan adat istiadat, dan hidup selaras dengan alam.” tambahnya.
Saat modernisasi semakin merambah ke seluruh pelosok Indonesia, Suku Baduy tetap mempertahankan gaya hidup yang sederhana di tengah Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Dengan populasi sekitar 26.000 jiwa, mereka memilih hidup jauh dari hiruk-pikuk kota, menjadikan kesederhanaan sebagai identitas budaya.
Melestarikan Tradisi Leluhur
Suku Baduy terkenal menolak pengaruh dunia luar, terutama teknologi. “Kami hidup seperti ini karena diajarkan oleh leluhur kami. Tradisi adalah pegangan hidup kami,” ujar seorang tetua Baduy dengan tegas. Mereka membangun rumah dari kayu, bambu, dan atap daun yang mencerminkan keakraban dengan alam.
Rumah tradisional Baduy memiliki tiga ruangan: ruang depan untuk menerima tamu dan menenun, ruang tengah untuk berkumpul dan tidur, serta dapur di bagian belakang untuk memasak dan menyimpan hasil panen.
Dua Golongan Baduy: Dalam dan Luar
Suku Baduy terbagi menjadi Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam lebih tertutup dan ketat menjalankan adat istiadat atau pikukuh, seperti larangan menggunakan teknologi dan mengambil foto. “Kami tidak butuh barang-barang modern, yang penting kami tetap menjaga adat,” ujar seorang warga Baduy lainnya.
Sebaliknya, Baduy Luar lebih terbuka terhadap pengunjung. Mereka menawarkan pengalaman menginap di rumah-rumah tradisional, sehingga wisatawan dapat merasakan langsung kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy.
Hidup Bersahaja dengan Alam
Sebagian besar masyarakat Baduy bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam padi, kopi, dan umbi-umbian menggunakan metode tradisional tanpa bantuan alat modern atau hewan ternak seperti sapi. “Semua kami kerjakan dengan cara turun-temurun agar alam tetap lestari,” tutur seorang petani.
Menariknya, di malam hari, penerangan hanya menggunakan lampu minyak atau api. “Kami tidak memakai listrik atau teknologi canggih, bahkan lampu tenaga surya pun dilarang,” jelas seorang warga.
Saba Budaya Baduy: Lebih dari Sekadar Wisata
Sejak ditetapkan sebagai cagar budaya pada 1990, desa Baduy menjadi destinasi bagi wisatawan yang ingin merasakan kehidupan tradisional. Namun, masyarakat Baduy lebih suka menyebut kunjungan ini sebagai “Saba Budaya Baduy”, yang berarti silaturahmi budaya.
Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp5.000. Mereka juga dapat menyewa pemandu lokal untuk trekking di sekitar desa. Selama kunjungan, berbagai kerajinan tangan khas Baduy, seperti kain tenun, gelang, dan madu, dijual langsung oleh warga. “Kain ini kami buat dengan tangan selama lebih dari 40 hari,” kata Sarti, seorang gadis cantik yang telah viral di media sosial.
Musim buah menjadi waktu istimewa dalam kunjungan kesana karena warga menjual durian dan rambutan segar dengan harga terjangkau. Selain itu, pengunjung bisa menikmati kopi dan makanan ringan yang disediakan di warung-warung tradisional.
Cara Menuju Desa Baduy
Desa Baduy dapat diakses dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum. Dari Jakarta, wisatawan dapat naik KRL menuju Rangkasbitung, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus lokal menuju Terminal Ciboleger, pintu masuk utama ke kawasan Baduy. Perjalanan dari Rangkasbitung memakan waktu sekitar 90 menit melewati medan jalan yang menantang.
Pelajaran dari Suku Baduy
Suku Baduy menawarkan pengalaman unik yang mengajarkan pentingnya hidup sederhana, menjaga harmoni dengan alam, dan melestarikan tradisi. Bagi siapa pun yang ingin menyepi dari hiruk-pikuk kota, desa ini adalah pilihan sempurna untuk menghayati keindahan hidup yang menyatu dengan alam. (RKL)