ISTANBUL – Jika Anda berkunjung ke Istanbul, salah satu destinasi yang tak boleh dilewatkan adalah Istana Topkapi Sarayı Müzesi. Museum ini menyimpan berbagai peninggalan bersejarah yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, serta keturunannya. Di antaranya adalah jubah Rasulullah, pedang, stempel, cetakan telapak kaki, kunci Ka’bah, hingga surat-surat administratif yang pernah beliau gunakan. Peninggalan Fatimah Az-Zahra dan cucunya, Husein, juga dapat ditemukan di sini.
Namun, ada satu hal unik yang membedakan Museum Topkapi dari tempat lain, yakni lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan tanpa henti selama 24 jam. Tradisi ini telah berlangsung selama 416 tahun, menjadikan museum ini bukan sekadar tempat bersejarah, tetapi juga simbol spiritualitas yang hidup.
“Rasanya seperti melihat secara nyata kehidupan di zaman Rasulullah,” ujar seorang wisatawan asal Indonesia yang tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Terletak di tepi Selat Bosphorus, Istana Topkapi merupakan bagian dari wilayah bersejarah Istanbul yang telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1985. Di sekitar istana ini juga berdiri bangunan ikonik lain seperti Blue Mosque (Masjid Biru) dan Hagia Sophia. Keindahan arsitektur klasik yang terpampang di setiap sudut bangunan membuktikan betapa majunya peradaban masa lalu.
“Tak hanya megah, tapi juga menenangkan,” kata seorang wisatawan yang sempat singgah dalam perjalanan pulang Umrahnya ke Indonesia.
Selain situs-situs bersejarah, pesona Istanbul semakin lengkap dengan hadirnya bunga tulip yang bermekaran setiap April, menambah kesan romantis kota tua ini. Wisatawan juga dapat menikmati pemandangan kota dari Selat Bosphorus dengan menaiki kapal pesiar. Dari atas kapal, panorama Istanbul terlihat lebih memesona, terutama saat melewati Istana Dolmabahçe, yang dulu menjadi kediaman Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki. Sementara itu, Golden Horn, sebuah teluk ikonik, akan tampak berkilau saat matahari terbenam.
Penaklukan Konstantinopel: Strategi Jenius Al-Fatih
Menaklukkan Konstantinopel saat itu bukan perkara mudah. Kota dan Istana ini dikelilingi laut berombak besar, selat yang mematikan, serta rantai raksasa yang menghalangi masuknya kapal ke Teluk Golden Horn. Namun, Sultan Mehmed II atau Muhammad Al-Fatih punya ide jenius dan strategi yang tak terduga. Dengan penuh keberanian, ia memerintahkan pasukannya untuk mengangkut kapal-kapal melewati bukit, sebuah taktik yang membuat pasukan Bizantium ternganga dan kebingungan.
Ratusan kapal mereka letakkan persis di depan istana teluk Golden Horn mengakibatkan sejumlah panglima Konstantinopel seperti dibebani mimpi buruk mendapatkan kenyataan demikian, karena hal tersebut hampir sesuatu hal yang mustahil terjadi.
Keberhasilan Al-Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel juga tidak lepas dari ungkapan hadits Nabi Besar Muhammad SAW yang menyatakan bahwa suatu saat Konstantinopel akan ditaklukkan. Hal itulah kemudian yang terus menjadi motivasi baginya hingga diusia 21 tahun ia berhasil menaklukkan kerjaan besar dengan Istana berlapis tiga, puluhan kilometer tersebut.
Inspirasi lainnya yang ia dapatkan adalah perjuangan sahabat Rasulullah, Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu Anhu. Sahabat Nabi yang berusia senja ini telah gugur dalam ekspedisi Islam ke Konstantinopel dan dimakamkan di area masjid Sultan Ayyub dekat dinding Konstantinopel, ia meminta dikuburkan di dekat tembok Konstantinopel agar bisa mendengar suara kuda pasukan penakluk Konstantinopel,”
“Setidaknya, aku telah memberi contoh kepada generasi muda bahwa jihad adalah perjuangan yang tak mengenal usia,” demikian pesan Abu Ayyub sebelum wafat.
Makna Jihad di Zaman Modern
Di era Rasulullah dan Al-Fatih, jihad identik dengan perjuangan fisik karena kondisi saat itu memang menuntut demikian. Namun, dalam konteks saat ini, jihad memiliki makna yang lebih luas. Bukan lagi perang, tetapi jihad menuntut ilmu, jihad memberantas kemiskinan, jihad melawan hawa nafsu, serta jihad dalam melindungi alam dan anak-anak dari berbagai bentuk eksploitasi.
Sejatinya, kita menyelesaikan masalah bukan dengan menciptakan masalah baru. Kita harus belajar dari sejarah, bahwa kemenangan sejati tidak selalu diraih dengan kekerasan, melainkan dengan strategi dan kebijaksanaan. Jihad terbesar di masa kini adalah bagaimana kita bisa berdamai dengan hati dan menjaga nafsu, menjaga perdamaian, baik antarindividu, antarkelompok, maupun antarnegara.
Semoga semangat Istanbul yang penuh sejarah dan nilai-nilai luhur bisa menginspirasi Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih beradab dan harmonis. (RKL)
Penulis : Rahmat Kurnia Lubis
Editor : Erka






